30 September 2017

Skrining Cara Mengidentifikasi Penyakit




SKRINING CARA MENGIDENTIFIKASI PENYAKIT
Oleh Drh. Betty Indah Purnama, MPH
Fungsional Medik Veteriner
           
            Skrining  adalah `cara untuk mengidentifikasi penyakit  yang belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan antara Individu (orang atau hewan/ternak) yang mungkin menderita penyakit dengan Individu (orang atau hewan/ternak) yang mungkin tidak menderita. 
            Skrining tidak dimaksudkan untuk mendiagnosa sehingga pada hasil skrining yang positif harus dilakukan pemeriksaan yang lebih intensif untuk menentukan  apakah individu yang bersangkutan memang sakit atau tidak kemudian bagi diagnosisnya positif dilakukan pengobatan intensif agar tidak membahayakan bagi dirinya maupun lingkungannya (Budiarto dan Anggraini, 2002).
            Ada beberapa tipe skrining yang masing-masing memiliki tujuan khusus yaitu (Budiarto & Anggraeni, 2002; Beaglehole, R. et al., 2006) :
a. Skrining Masal (mass screening) yang bertujuan untuk menskrining seluruh populasi atau subpopulasi.
b.  Multipel skrining (multiple or multiphasic screening) yaitu menggunakan beberapa alat uji skrining pada waktu yang sama. Uji skrining ini dapat dilakukan secara seri atau pararel. Uji kombinasi secara seri adalah dua tes atau lebih yang dilakukan secara berturut-turut dimana tes pertama dengan sensitivitas tinggi, sedangkan tes kedua dengan spesivisitas yang tinggi. Cara ini dimaksudkan untuk meningkatkan spesivisitas. Sedangkan uji kombinasi secara pararel adalah bila dua tes atau lebih dilakukan secara bersamaan tanpa memperhatikan hasil tes sebelumnya. Cara ini digunakan untuk meningkatkan sensitivitas.
c.Targeted screening dari kelompok dengan paparan khusus.
d. Case-finding or opportunistic screening yaitu ditujukan pada pasien yang konsul ke praktisi kesehatan untuk beberapa maksud lainnya ini biasanya dalam kesehatan manusia. Pada Hewan/Ternak maka pemilik hewan/peternak meminta dokter hewan untuk mengecek kesehatan hewannya dan dilanjuti dengan pengambilan serta pengujian sampel.


3. Kriteria Menyusun Program Skrining
Untuk dapat menyusun suatu program penyaringan (skrining), diharuskan memenuhi beberapa kriteria atau ketentuan-ketentuan khusus yang merupakan persyaratan suatu tes penyaringan (Noor, 2008; Morton, RF. et al., 2009)  :
a. Penyakit yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti dalam masyarakat dan dapat mengancam derajat kesehatan masyarakat tersebut (penyakit tersebut merupakan penyebab utama kematian dan atau kesakitan).
b. Tersedianya obat yang potensial dan memungkinkan pengobatan bagi mereka yang dinyatakan menderita penyakit yang mengalami tes (terdapatnya pengobatan yang aman dan efektif untuk mencegah penyakit atau akibat-akibat penyakit).
    Keadaan penyediaan obat dan keterjangkauan biaya pengobatan dapat mempengaruhi tingkat/kekuatan tes yang dipilih.
c. Terdapat sebuah uji yang sudah terbukti dan dapat diterima untuk mendeteksi individu-individu (orang, hewan/ternak) pada suatu tahap awal penyakit yang dapat dimodifikasi.
 d. Tersedianya fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti bagi mereka yang dinyatakan positif serta tersedianya biaya pengobatan bagi mereka yang dinyatakan positif melakukan diagnosis klinis.
e. Tes penyaringan terutama ditujukan pada penyakit yang masa latenya cukup lama dan dapat diketahui melalui pemeriksaan/ tes khusus.
f. Tes penyaringan hanya dilakukan bila memenuhi syarat untuk tingkat sensitivitas danspesifisitasnya.
g. Semua bentuk/ teknis dan cara pemeriksaan dalam tes penyaringan harus dapat diterima oleh masyarakat secara umum.
h. Sifat perjalanan penyakit yang akan dilakukan tes harus diketahui dengan pasti.
i. Adanya suatu nilai standar yang telah disepakati bersama tentang mereka yang dinyatakan menderita penyakit tersebut.
j. Biaya yang digunakan dalam melaksanakan tes penyaringan sampai pada titik akhir pemeriksaan harus seimbang dengan resiko biaya bila tanpa melakukan tes tersebut.
k. Harus dimungkinkan untuk diadakan pemantauan (follow up) terhadap penyakit tersebut serta penemuan penderita secara berkesinambungan dapat dilaksanakan.
Menurut Budiarto dan Anggraini (2002) untuk menilai hasil skrining dibutuhkan kriteria tertentu seperti berikut :
a. Validitas
Skrining  merupakan tes awal yang baik untuk memberikan indikasi individu mana yang benar-benar sakit dan mana yang tidak disebut validitas.  Validitas mempunyai dua komponen yaitu:    
1). Sensitivitas ialah kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasikan individu dengan tepat, dengan hasil tes positif, dan benar sakit.
2). Spesivisitas ialah kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasikan individu dengan tepat, dengan hasil tes negatif, dan benar tidak sakit.
b. Reliabilitas
Bila tes yang dilakukan berulang-ulang menunjukkan hasil   yang konsisten, dikatakan reliabel.  Reabilitas ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut :
1). Variabilitas alat yang dapat ditimbulkan oleh :
     a). Stabilitas reagen dan
     b). Stabilitas alat ukur yang digunakan.
     c). Stabilitas reagen dan alat ukur sangat penting karena makin stabil reagen dan alat ukur, makin konsisten hasil pemeriksaan.  Oleh karena itu, sebelum digunakan hendaknya kedua hal tersebut ditera atau diuji ketepatannya.
2). Variabilitas individu yang diperiksa.  Kondisi fisik, psikis, stadium penyakit atau penyakit dalam masa tunas misalnya lelah, stress,  penyakit yang berat dan penyakit dalam masa tunas.
3). Variabilitas pemeriksa
     Variasi pemeriksa dapat berupa :
a). Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang oleh orang yang sama;
b). Variasi eksterna ialah variasi yang terjadi bila satu sediaan dilakukan pemeriksaan oleh beberapa orang.
c. Yield
Yield merupakan jumlah penyakit yang terdiagnosis dan diobati sebagai hasil dari skrining.  Hasil ini dipengaruhi beberapa faktor berikut :
1). Sensitivitas alat uji : bila alat yang digunakan untuk skrining mempunyai sensitivitas yang rendah, akan dihasilkan banyak negatif semu yang berarti banyak penderita yang tidak terdiagnosis.  Hal ini dikatakan bahwa uji skrining dengan yield yang rendah.  Sebaliknya,  bila alat yang digunakan mempunyai sensitivitas yang tinggi, akan menghasilkan yield yang tinggi.  Jadi, sensitivitas alat dan yield mempunyai korelasi yang positif.
2). Prevalensi penyakit yang tidak tampak : makin tinggi prevalensi penyakit tanpa gejala akan meningkatkan yield.
3). Skrining yang dilakukan sebelumnya : bagi penyakit-penyakit yang jarang dilakukan  skrining akan mendapatkan yield yang tinggi karena banyaknya penyakit tanpa gejala.  Sebaliknya, bila suatu penyakit telah dilakukan skrining sebelumnya maka yield akan rendah karena banyak penyakit tanpa gejala yang terdiagnosis.
4). Kesadaran masyarakat/pemilik hewan/peternak : masyarakat/pemilik hewan/peternak dengan kesadaran yang tinggi terhadap masalah kesehatan/kesehatan hewan/ternak akan meningkatkan partisipasi dalam  skrining hingga kemungkinan banyak penyakit tanpa gejala yang dapat terdeteksi dan dengan demikian yield akan meningkat.

      Sensitivitas dan Spesifisitas
      Sensitivitas adalah kemampuan uji skrining untuk memberikan hasil positif pada individu yang mengidap penyakit. Sensitivitas dinyatakan sebagai sebuah persentase:
Individu sakit yang terdeteksi oleh uji skrining      x 100%
       Jumlah seluruh individu sakit yang mengikuti uji skrining

       Spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk memberikan hasil negatif pada individu yang sehat (tidak sakit). Spesifitas juga ditampilkan sebagai sebuah persentase:
Individu sehat yang hasil uji skriningnya negatif      x 100%
       Jumlah seluruh individu sehat yang mengikuti uji skrining
      
Pada sebuah uji tunggal, peningkatan sensitifitas akan menyebabkan penurunan spesifisitas, demikian pula, peningkatan spesifisitas akan menyebabkan penurunan sensitifitas.


Perhitungan Sensitivitas dan Spesifisitas
Dari Tabel 1. Dapat terlihat bahwa :
                             Sensitivitas = a / (a+c)
                             Spesifisitas = d/ (b+d)
Suatu uji yang sangat sensitif memiliki sedikit hasil negatif palsu, sehingga c bernilai kecil ketika sensitifitas mendekati 100%. Suatu uji dengan spesifisitas yang tinggi akan memiliki sedikit temuan positif palsu, oleh karena itu nilai b haruslah kecil supaya spesifisitas mendekati 100%.
                Tabel 1. Tampilan Umum Sebuah Matriks Skrining

Hasil Uji
          Diagnosis yang Benar

Total
Sakit
Tidak Sakit
Positif
a
B
a + b
Negatif
b
d
c + d
Total
a + c
b + d
a + b + c + d

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa proporsi subyek dengan hasil uji positif yang benar-benar sakit menurut diagnosis adalah a/(a+b). Rasio ini disebut Nilai Prediktif Positif. Nilai prediktif positif suatu uji meningkat seiring dengan meningkatnya sensitivitas dan spesifisitas. Namun  bila Prevalensi penyakit pada populasi yang diskrining meningkat, nilai prediktif positif juga meningkat, dan begitu juga sebaliknya. Populasi berisiko tinggi sering dipilih untuk skrining sehingga meningkatkan hasil uji dan nilai prediktif positif.
Misalnya Prevalensi penyakit 50%, sensitivitas dan spesifisitas keduanya sebesar 50%, Jumlah yang diskrining adalah 200 ekor hewan. Dari data tersebut Nilai Prediktif Positif adalah 50/100 atau 50% (Tabel 2).

Tabel 2. Contoh Tampilan Umum Sebuah Matriks Skrining

Hasil Uji
          Diagnosis yang Benar

Total
Sakit
Tidak Sakit
Positif
50
50
100
Negatif
50
50
100
Total
100
100
200
                        
Prevalensi penyakit meningkat 60%, sensitivitas dan spesifisitas keduanya tetap sebesar 50%, Jumlah yang diskrining adalah 200 ekor hewan. Dari data tersebut Nilai Prediktif Positif telah meningkat adalah 60/100 atau 60% (Tabel 3).

Tabel 3. Contoh Tampilan Umum Sebuah Matriks Skrining
                             (Prevalensi   Meningkat)

Hasil Uji
          Diagnosis yang Benar

Total
Sakit
Tidak Sakit
Positif
60
40
100
Negatif
60
40
100
Total
120
80
200
               
Prevalensi penyakit menurun hingga 40%, sensitivitas dan spesifisitas keduanya tetap sebesar 50%, Jumlah yang diskrining adalah 200 ekor hewan. Dari data tersebut Nilai Prediktif Positif telah menurun menjadi 40/100 atau 40% (Tabel 4).

Tabel 4. Contoh Tampilan Umum Sebuah Matriks Skrining
                             (Prevalensi   Menurun)

Hasil Uji
          Diagnosis yang Benar

Total
Sakit
Tidak Sakit
Positif
40
60
100
Negatif
40
60
100
Total
80
120
200

                Nilai Prediktif negatif dapat dihitung sebagai d/(c+d), Namun, karena tujuan utama uji Skrining adalah untuk mengidentifikasikan subjek-subjek yang sakit, perhitungan nilai prediktif negatif tidak sering digunakan. 
Terdapat dua probabilitas yang digunakan untuk mengukur kemampuan uji skrining dalam membedakan individu/subjek yang sakit dan yang tidak sakit. Pengukuran-pengukuran validitas uji skrining ini ditentukan dengan membandingkan hasil menurut uji skrining dengan hasil yang didapat dari uji yang lebih akurat (dikenal sebagai Gold Standar). Nilai tertentu pada hasil-hasil uji skrining yang bersesuaian dengan hasil-hasil Gold Standar menghasilkan ukuran sensitivitas dan spesifisitas (Morton RF. et al., 2009)
Validitas dari suatu alat uji skrining diartikan kemampuan alat uji itu sendiri untuk membedakan siapa yang menderita sakit dan siapa yang tidak menderita sakit.  Validitas dari suatu alat uji terdiri atas dua komponen yaitu sensitivitas dan spesifisitas (Gordis, 2004). Untuk menilai validitas pengukuran dalam suatu uji penyaringan atau skrining, maka hasil pengukuran uji skrining tersebut dibandingkan dengan baku emas (gold standar), dengan menyusun tabel 2 x 2 seperti tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Tabel 2 x2 misalnya Antara RBT dan CFT untuk UJi Brucellosis

RBT
             CFT (Baku Emas)

Total
Positif
Negatif
Positif
A
B
a + b
Negatif
C
D
c + d
Total
a + c
b + d
a + b + c + d
Keterangan :
     a = Positif sejati (true positive)                  c = Negatif palsu (false negative)
     b = Positif palsu (false positive)                 d = Negatif sejati (true negative)
 
Uji yang akan dilakukan adalah :
a.     Sensitivitas (Sensitivity) adalah kemampuan alat skrining untuk menempatkan sasaran skrining yang benar-benar menderita ke dalam kelompok penderita.
Sensitivitas = a / (a+c) x 100 %
b.     Spesifisitas (Specificity) adalah kemampuan alat skrining untuk menempatkan sasaran skrining yang benar-benar tidak menderita ke dalam kelompok sehat.
Spesifisitas = d / (b+d) x 100 %
c.      Nilai duga positif (Positive Predictive Value) adalah besarnya kemungkinan individu benar-benar menderita dari semua hasil uji skrining positif.
Nilai duga positif = a / (a+b) x 100 %
d.     Nilai duga negatif (Negative Predictive Value) adalah besarnya kemungkinan individu yang benar-benar tidak menderita dari semua hasil uji skrining negatif.
Nilai duga negatif = d / (c+d) x 100 %

Tes skrining seringkali tidak dimaksudkan untuk langsung mendiagnosa suatu penyakit, maksudnya yang sebenarnya adalah untuk menjaring sejumlah individu dalam suatu populasi yang tampaknya sehat yaitu individu mungkin sakit akan tetapi masih belum menampakkan gejala dan untuk selanjutnya dilakukan diagnosa yang lebih teliti untuk dilakukan pengobatan atau tindakan lain (Sutrisna, 1994).
Dalam melaksanakan skrining agar upaya mendeteksi ada tidaknya suatu penyakit pada individu yang tampak sehat sangat bergantung pada sensitivitas dan spesivisitas alat skrining yang digunakan.  Menurut Budiaro (1997), kedua komponen sensitivitas dan spesifisitas hasilnya cenderung akan memberikan hasil yang berlawanan satu terhadap yang lainnya.  Suatu tes skrining yang terlalu peka (sensitif) akan mengakibatkan positif palsu (false positve) yang tinggi dan sebaliknya jika spesivisitas tinggi akan berakibat pada negatif palsu (false negative) yang tinggi pula.

 

DAFTAR PUSTAKA


Bonita, R., Beaglehole, R. & Kjellström, T. (2006)  Basic Epidemiology  2nd edition. Geneva: WHO.
Budiaro, B. (1997) Pengantar Epidemiologi. Semarang: Penerbit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro.
Budiarto. E & Anggraeni, D. (2002) Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Gordis, L. (2004) Epidemiology, 4th Edition.Saunders             Elsevier.Philadelphia.
Noor, N.N. (2008) Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Morton R.F. , Hebel J.R., McCarter R.J. (2009). A Study Guide To Epidemiology and Biostatistics. Alih Bahasa Apriningsih. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Sutrisna,  B. (1994) Pengantar Metode Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat

1 komentar: