21 April 2017

Survei Brucellosis pada Sapi di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III Kabupaten Lima Puluh Kota


SURVEI BRUCELLOSIS PADA SAPI DI UPT PETERNAKAN DAN PUSKESWAN WILAYAH III KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

Eka Oktarianti1, Betty Indah Purnama2
1UPT Peternakan dan Pukeswan Wilayah III Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab. Lima Puluh Kota
2Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat
E-mail : eka.oktarianti26@yahoo.co.id

Abstrak

Brucellosis adalah penyakit zoonosis yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi dan berdampak terhadap kesehatan manusia, terutama di negara berkembang. Provinsi Sumatera Barat sejak tahun 2009 telah dinyatakan bebas brucellosis, kegiatan penyelidikan dan pengawasan (surveillance)  yang merupakan bagian dari program  pencegahan dan penanggulangan brucellosis telah dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan untuk mempertahankan status bebas dan melindungi ternak dari brucellosis. Tujuan penelitian ini adalah identifikasi brucellosis pada sapi, serta menggambarkan manajemen peternakan di dua Kecamatan (Akabiluru dan Situjuah Limo Nagari). Sejumlah 100 ekor sapi di Kecamatan Akabiluru dan Kecamatan Situjuah Limo Nagari digunakan dalam sebuah kajian deteksi penyakit. Sampel pada tingkat kecamatan dan desa berdasarkan alokasi proporsional (proportional sampling), sedangkan sampel pada dusun diambil secara random. Penentuan status brucellosis adalah reaksi positif Complement Fixation Test (CFT) dari reaktor positif Rose Bengal Test (RBT). Hasil penelitian menunjukkan prevalensi brucellosis di sub-district (Akabiluru dan Situjuah Limo Nagari) III adalah negatif, tidak ada ternak sapi yang positif RBT berdasarkan pemeriksaan sampel oleh BLKKH Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Sumatera Barat. Hasil analisa bivariat terhadap karakteristik peternak dengan manajemen peternak yang berisiko tinggi terhadap kejadian brucellosis adalah jenis kelamin perempuan, umur peternak, pendidikan dan tipologi peternak. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa prevalensi brucellosis pada sapi negatif, namun beberapa karakterisitk peternak secara signifikan berasosiasi dengan manajemen peternakan yang mempunyai risiko tinggi terjadinya brucellosis.

Kata kunci : brucellosis, prevalensi, faktor risiko


Pendahuluan

Brucellosisatau penyakit keluron menular dantermasuk salah satu penyakit hewan menularsrategis karena penularannya yang relatif cepat antar daerah dan lintas batas (Syah et al. 2011). Di beberapa daerah di Indonesia kejadian brucellosis masih tinggi, meskipun angka kematian rendah namun dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar.
Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella sp., dari famili Brucellaceae, berbentuk coccobacilosis atau batang pendek dan termasuk gram negatif yang bersifat patogenik, baik pada manusia maupun hewan. Bakteri ini adalah parasit obligat intraseluler karena berpledileksi di dalam sel dan mempunyai kemampuan untuk menginvasi semua jaringan hewan sehingga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi (Gul dan Khan, 2007; Chin, 2007).Brucella sp. apabila masuk ke dalam sel maka akan dimakan oleh neutrofil dan sel makrofag, kemudian masuk ke limfoglandula. Bakterimia akan muncul apabila sistem kekebalan tubuh tidak mampu mengatasi pada 1-3 minggu setelah infeksi (Noor, 2006). Bakteri ini dapat hidup diluar tubuh induk semang pada berbagai kondisi lingkungan dan dalam jangka waktu tertentu (Crawferd et al. 1990; Madiha. 2011).
Hewan yang rentan terhadap brucellosis adalah sapi, domba, kambing dan babi. Sumber penularan yang potensial dari hewan ke manusia adalah sapi perah dan domba (Novita, R. 2013).Brucella abortus adalah bakteri penyebab brucellosis pada sapi. Pada sapi  betina yang terinfeksi biasanya asimptomatik, sedangkan pada sapi bunting bakteri dapat menimbulkan plasentitis yang dapat menyebabkan abortus/ keguguran pada umur kebuntingan lima sampai sembilan bulan dan juga dapat lahir tetapi anak yang dilahirkan lemah. Keguguran biasanya terjadi pada infeksi pertama dan pada saat terjadi keguguran tersebut sapi akan mensekresikan bakteri brucella sp. dalam jumlah yang banyak di cairan fetus, membran fetus, cairan reproduksi, urin dan feses (Arut dkk. 2010). Infeksi brucellosis juga dapat menyebabkan terjadinya infertilitas pada ternak baik temporer maupun permanen, terjadi penularan pada sapi-sapi lain baik jantan maupun betina dalam satu kelompok ternak maupun antar kelompok ternak. Masalah reproduksi yang sering muncul diantaranya adalah kawin berulang, retensi plasenta dan metritis (Al-Majali, A. et al. 2009).
Brucellosis bersifat zoonosis karena dapat menular dari hewan ke manusia. Pada manusia disebut sebagai demam undulan, Medateranian fever atau Malta fever dan menjadi masalah kesehatan yang penting (Makita et al., 2011). Sumber penularan yang umum dari penyakit pada manusia adalah kontak dengan plasenta, fetus, cairan/organ reproduksi hewan, darah dan urin. Dokter hewan, petugas inseminator, mantri hewan, petugas rumah potong hewan, tukang perah susu mempunyai risiko tinggi tertular brucellosis jika bekerja di daerah tertular (Alsubaie et al. 2005). Penularan pada manusia juga dapat terjadi karena mengkonsumsi susu dan daging asal hewan yang terkontaminasi bakteri Brucella sp.
Pada hewan, Brucella sp. terdapat pada fetus, plasenta dan lendir vagina (pada minggu ke-4 sampai minggu ke-6 setelah abortus), semen, urin, air liur, cairan dari rongga hidung dan mata, susu serta feses. Dapat ditularkan melalui fetus, selaput fetal yang mengalami abortus dan stillbirth, serta melalui hubungan kelamin. Brucella sp. masuk ke dalam tubuh melalui mulut, saluran reproduksi, oronasal, mukosa konjunctiva, luka terbuka dan transfusi darah. Padang rumput, pakan dan air yang tercemar olehselaput janin atau cairan yang keluar dari rahim yang terinfeksi juga dapat menjadi sarana  penularan penyakit. Brucellosis juga dapat menular melalui kontak langsung dengan kulit yang terluka, ambing terinfeksi dan inseminasi atau kawin alam dengan semen yang tercemar Brucellosis.
Brucellosis menyebabkan kerugian meskipun mortalitasnya rendah, sebagai akibat keguguran ataupun kematian fetus dan keberadaan hewan karier serta penurunan produksi susu sebesar 20% (Aiello dan May. 1998), sehingga berdampak terhadap penurunan produksi, produktivitas dan reproduktivitas  serta dapat menghambat perdagangan ternak karena tidak dapat dijadikan bibit. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No.59/Permentan/HK.060/8/2007, Brucellosis digolongkan Penyakit Hewan Menular Strategis, dan termasuk dalam Penyakit Hewan Karantina Golongan II berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan Jenis-jenis Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa.
Di Indonesia, Lobel et al. secara serologis menemukan Brucellosis  pertama kali tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati Kabupaten Pasuruan Propinsi Jawa Timur, dan berhasil di isolasi tahun 1938.Kemudian Brucellosis tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan bersifat endemis. Prevalensi antar wilayah berbeda-beda tergantung manajemen pemeliharaan. Brucellosis secara serologis telah ditemukan di beberapa pulau di Indonesia yaitu di  Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Pulau di Nusa Tenggara  (Putra et al. 1995). Pada tahun 2002 Pulau Lombok dinyatakan bebas bersyarat, tahun 2006 Pulau Sumbawa juga dinyatakan  bebas, kemudian pada tahun 2009 beberapa propinsi lainnya yaitu Propinsi Sumatra Barat, Jambi, Riau, Kepulauan Riau dan Pulau Kalimantan telah dinyatakan bebas. Sumatera Barat secara rutin telah melakukan surveillance terhadap penyakit Brucellosis untuk mempertahankan status bebas dan melindungi ternak dari brucellosis. Salah satu kegiatan tersebut adalah penanggulangan dan pengendalian penyakit rucellosis melalui pengamatan dan pengujian sampel atau spesimen dan  mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang dapat memengaruhi terjadinya Brucellosis.

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya survei tentang Brucellosis pada sapi di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III Kabupaten Lima Puluh Kota adalah sebagai berikut :
1.  Identifikasi Brucellosis pada sapi di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III Kabupaten Lima Puluh Kota.
2.    Menggambarkan manajemen peternakan di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III Kabupaten Lima Puluh Kota.

Materi dan Metode

Survei ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan menyidik faktor risiko yang berpengaruh terhadap penyakit Brucellosis. Variabel dependen (Y) adalah sapi yang mengalami Brucellosis, sedangkan faktor risiko sebagai variabel independen (X) adalah jenis kelamin peternak, pekerjaan, tipologi, pendidikan, pengalaman beternak, jumlah ternak, tipe peternakan, tipe kadang, sumber air, penggunaan desinfektan, kondisi kandang, sistem pemeliharaan, padang rumput, pengetahuan tentang Brucellosis, asal ternak, umur ternak, jenis kelamin ternak, bangsa/ras, bunting, pernah mengalami keguguran, penanganan limbah paska partus, skor kondisi tubuh, cara kawin, dan siklus estrus.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara dan kuisioner terhadap peternak, pengamatan terhadap ternak dan peternakan, pemeriksaan kesehatan ternak, dan pengambilan sampel darah. Data sekunder adalah data populasi ternak di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III berdasarkan Data Statistik Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015.Pengambilan sampel dilakukan pada peternak di jorong-jorong pada nagari-nagari dalam satu kecamatan wilayah Puskeswan. Penetapan besaran sampel menggunakan rumus Lemeshow et al. (1997) dengan cara perhitungan sebagai berikut :



n =   Z2-a / 2 x P (1-P) N
     d2 (N-1) + Z21-a/2 P(1-P)


Keterangan :
a = 5 %
Z2 1-a/2 = 1,96
d = 10 % (presisi)
P = 50 % (proporsi)

Jumlah sampel di setiap kecamatan dan nagari di wilayah Puskeswan, dilakukan dengan sampel alokasi proporsional (proportional sampling) menggunakan rumus :

Fraksi sampel =   Besar sampex jumlah ternak sapidi kanagarian
Populasi ternak sapi di kec (Puskeswan)

Pengambilan sampel peternak dengan menggunakan random sampling di jorong-jorong pada beberapa nagari di wilayah kerja UPT Wilayah III (Kecamatan Situjuah Limo Nagari dan Kecamatan Akabiluru). Sampel serum darah dikirim keUPTD BLKKH Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat untuk dilakukan pemeriksaan Brucellosis.
Data dianalisis secara univariat (frekuensi dan distribusi), serta bivariat (uji chi-square (c2) dan (odds ratio), dengan menggunakan software Statistic for Windows Version 8.

Hasil

Prevalensi Brucellosis
Berdasarkan hasil pemeriksaan 100 sampel secara serologis (RBT) di BLKKH Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat menunjukkan hasil negatif.  Hasil pemeriksaan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan Brucellosis di BLKKH
Variabel
Keterangan
Hasil
Prevalensi
Brucellosis
0% (0/100)

Hasil pemeriksaan pada 100 ekor ternak menunjukkan hasil pemeriksaan Rose Bengal Test (RBT) negatif, dengan demikian semua ternak tidak ada yang terinfeksi Brucellosis. Sumatera Barat pada tahun 2009 telah dinyatakan bebas Brucellosis, dan secara rutin melakukan surveillance terhadap penyakit Brucellosis untuk mempertahankan status bebas dan melindungi ternak dari Brucellosis.

Analisis univariat terhadap variabel karakteristik peternak
Variabel karakterisitk peternak yang digunakan untuk mendeteksi prevalensi Brucellosis di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III (Kecamatan Situjuah Limo Nagari dan Kecamatan Akabiluru) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Frekuensi distribusi variabel karakteristik peternak
No.
Variabel
Keterangan
Hasil
1.
Jenis kelamin
Perempuan  
Laki-laki
14% (14/100)
86% (86/100)
2.
Usia
20-40 tahun
41-60 tahun
³ 61 tahun
24% (24/100)
50% (50/100)
26% (26/100)
3.
Pekerjaan
Petani
Wiraswasta
Ibu rumah tangga
Pensiunan
Lain-lain
59% (59/100)
17% (17/100)
3% (3/100)
20% (20/100)
1% (1/100)
4.
Tipologi
Usaha pokok
Cabang usaha
Sambilan
24% (24/100)
52% (52/100)
24% (24/100)
5.
Pendidikan
SD
SLTP
SLTA
Tidak sekolah
18% (18/100)
25% (25/100)
56% (56/100)
1% (1/100)
6.
Pengalaman
< 5 tahun
6 - 10 tahun
11 – 15 tahun
16 – 20 tahun
³ 21 tahun
22% (22/100)
46% (46/100)
8% (8/100)
11% (11/100)
13% (13/100)
7.
Jumlah ternak
Rata-rata
(minimum-maksimum)
4 ekor
1 – 14 ekor

Hasil survei terhadap variabel karakteristik peternak menunjukkan bahwa peternak yang berjenis kelamin laki-laki adalah 86%, dan sebesar 14% peternak adalah perempuan, dengan kisaran umur 20 - 40 tahun sebesar 24%, umur antara 41 – 60 tahun (50%) dan umur lebih sama dengan ³61 tahun sebanyak 26%. Sebagian besar peternak bekerja sebagai petani (59%), 20% adalah pensiunan, sebanyak 17% sebagai wiraswasta, ibu rumah tangga 3 % dan 1% mempunyai pekerjaan lainnya. Tipologi atau tujuan beternak pada umumnya untuk cabang usaha (52%), dan masing-masing 24% untuk usaha pokok maupun usaha sambilan. Tingkat pendidikan peternak sebagian besar adalah SLTA (56%), sebanyak 25% lulusan SLTP, lulusan SD 18% dan hanya 1% yang tidak sekolah. Peternak yang mempunyai pengalaman beternak kurang dari 5 tahun adalah 22%, sebanyak 46% mempunyai pengalaman beternak selama 6 – 10 tahun, selama 11 – 15 tahun sebesar 8%, 11% dengan pengalaman antara 16 -20 tahun dan yang mempunyai pengalaman lebih sama dengan 21 tahun sebanyak 13%, sedangkan rata-rata kepemilikan ternak adalah sebanyak 4 ekor.

Analisis univariat terhadap variabel manajemen peternakan
Hasil survei distribusi variabel manajemen peternakan yang berpotensi menjadi faktor risiko terjadinya Brucellosis pada ternak sapi di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III dapat dilihat pada Tabel 3.

  
Tabel 3. Frekuensi distribusi manajemen peternakan
No.
Variabel
Keterangan
Hasil
1.
Tipe peternakan
1 jenis
Mix (campur)
90% (90/100)
10% (10/100)
2.
Kandang koloni
Sendiri
Bersama
Tidak ada
49% (49/100)
44% (44/100)
7% (7/100)
3.
Sumber air
Sumur
PDAM
Sungai
78% (78/100)
17% (17/100)
5% (5/100)
4.
Penggunaan desinfekan
Rutin 
Jarang
Tidak pernah
15% (15/100)
16% (16/100)
69% (69/100)
5.
Kondisi kandang
Bersih
Kotor
58% (58/100)
42% (42/100)
6.
Sistem pemeliharaan
Intensif
Semi intensif
75% (75/100)
25% (25/100)
7.
Padang rumput
Milik sendiri
Campur
Tidak ada
25% (25/100)
1% (1/100)
74% (74/100)
8.
Pengetahuan tentang Brucellosis
Tau
Tidak tau
18% (18/100)
82% (82/100)
9.
Penanganan limbah paska partus
Dikubur
Dibuang
Dibiarkan
70% (70/100)
22% (22/100%)
8% (8/100)

Hasil survei terhadap variabel manajemen peternakan menunjukkan bahwa sebagian besar tipe peternakan adalah memelihara satu jenis ternak (sapi) (90%) dan hanya 10% dengan tipe pemeliharaan yang dicampur dengan ternak lain dalam satu lokasi peternakan. Kandang koloni yang dimiliki pada umumnya adalah milik sendiri (49%), sebanyak 44% kandang koloni secara bersama dan 7% peternak tidak memiliki kandang koloni. Sumber air untuk keperluan peternakan adalah sumur (78%), dari PDAM 17% dan sebanyak 5% berasal dari sungai. Kebanyakan peternakan tidak pernah menggunakan desinfektan 69%, 16% jarang menggunakan desinfektan dan hanya 15% peternakan yang selalu menggunakan desinfektan. Peternakan yang bersih sebesar 58% dan 42% peternakan pada kondisi kotor. Sebagian besar peternakan dipelihara secara intensif, dan sebanyak 25% peternakan menggunakan cara pemeliharaan yang semi intensif (dikandangkan dan digembalakan secara bergantian). Peternak yang memiliki padang rumput miik sendiri sebesar 25%, 1% milik bersama dan sebanyak 74% peternakan tidak memiliki padang rumput untuk menggembalakan ternaknya. Peternak pada umumnya tidak mengetahui tentang brucellosis (82%), dan hanya 18% peternak yang mengetahui tentang Brucellosis. Pada umumnya peternak mengukur limbah setelah sapi beranak misalnya plasenta dan cairan amnion (70%), 22% dibuang dan 8% peternak membiarkan limbah tersebut.

 Analisis univariat terhadap variabel ternak
Hasil survei terhadap variabel ternak ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Frekuensi distribusi variabel ternak
No.
Variabel
Keterangan
Hasil
1.
Asal ternak
Induk sendiri
Beli
40% (40/100)
60% (60/100)
2.
Umur
Rata-rata
(min-maks)
3  tahun
(0.5 – 8 tahun)
3.
Sex (jenis kelamin)
Betina
Jantan
94% (94/100)
6% (6/100)
4.
Jumlah anak
Rata-rata
(min-maks)
1 ekor
(0 – 6 ekor)
5.
Bangsa (ras)
PO
Simental
Limosin
Lokal
Lainnya
2% (2/100)
89% (89/100)
6% (6/100)
1% (1/100)
2% (2/100)
6.
Bunting
Tidak
Ya
82% (82/100)
18% (18/100)
7.
Pernah keguguran
Tidak
Ya
97% (97/100)
3% (3/100)
8.
Cara kawin
IB
IB dan alam
Dara
Jantan
73% (73/100)
2% (2/100)
19% (19/100)
6% (6/100)
9.
Siklus estrus
Normal
Anestrus
IB > 3 kali
Dara
Jantan
39% (39/100)
27% (27/100)
8% (8/100)
20% (20/100)
6% (6/100)

Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar ternak dibeli (60%), dan 40% ternak berasal dari indukan sendiri. Rata-rata umur ternak yang dipelihara adalah 3 tahun, dengan jumlah anak rata-rata 1 ekor. Ternak yang dipelihara adalah 2% ras PO, 89% simental, 6% limosin, 1% lokal dan 2% ras lainnya. Ternak yang bunting sebanyak 18% dan yang tidak bunting 82%, sedangkan ternak yang pernah mengalami keguguran adalah 3% dan yang tidak pernah mengalami keguguran sebesar 97%.Kebanyakan ternak dikawinkan secara inseminasi buatan (IB), 2% kawin secara alam dan IB, 19% ternak dara yang belum pernah kawin dan 6% adalah sapi jantan. Berdasarkan siklus estrus sebagain besar sapi mempunyai siklus estrus yang normal (39%), sapi dengan kondisi anestrus 27%, 20% sapi dara, 8% mempunyai riwayat IB lebih dari tiga kali, dan 6% adalah sapi jantan.

Analisis bivariat karakteristik peternak dan faktor risiko
Hasil analisis karaktertik peternakdengan majemen pemeliharaan yang berpotensi sebagai faktor risiko kejadian Brucellosis disajikan pada Tabel 5.

Table 5. Hasil analisis karakterisitk peternak dengan manajemen peternakan yang berpotensi sebagai faktor risiko kejadian Brucellosis.
Karakteristik
Keterangan
Faktor risiko
Odds ratio
P
Jenis kelamin
Perempuan
Kondisi kandang yang kotor
9.9
0.0008
Umur
41-60 tahun
Kandang koloni bersama
3.8
0.0013
Umur
≥ 61 tahun
Tidak pernah desinfeksi
23.6
0.0000
Umur
41-60 tahun
Kondisi kandang kotor
7.1
0.0000
Umur
20-40 tahun
≥ 61 tahun
Sistem pemeliharaan semiintensif
2.9
4
0.0305
0.0038
Pendidikan
SD
Kondisi kandang kotor
17.2
0.0000
Pendidikan
SLTP
Kondisi kandang kotor
9.6
0.0000
Tipologi
Usaha sampingan
Kondisi kandang kotor
18.3
0.0000

Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa karakterisitk peternak yang berasosiasi dengan manajemen peternakan sebagai faktor risiko kejadian Brucellosis adalah peternak yang berjenis kelamin perempuan berasosiasi secara signifikan mempunyai kondisi kandang yang kotor (p=0.008; OR=9.9), peternak yang berusia 41-60 tahun signifikan mempunyai kandang koloni bersama (p=0.0013; OR 3.8) dan kondisi kandang kotor (p=0.0000; OR=7.1), peternak yang berusia ≥ 61 tahun siginifikan tidak pernah melakukan desinfeksi kandang (p=0.0000; OR=23.6) dan melaksanakan sistem pemeliharaansecara semi intensif (p=0.0038; OR=4), peternak yang berusia 20-40 tahun siginifikan menerapkan sistem pemeliharaan secara semi intensif (p=0.0305; OR=2.9), peternak dengan tingkat pendidikan SD dan SLTP secara signifikan mempunyai kondisi kandang yang kotor (masing-masing p=0.0000; OR 17.2 dan p=0.0000; OR=19.6), dan peternak dengan tipologi usaha sampingan signifikan mempunyai kandang yang kotor (p=0.0000; OR=18.3).

Pembahasan

Hasil pemeriksaan RBT dari 100 sampel ternak sapi di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III adalah negatif. Menurut Putra et al. (1995), prevalensi antar wilayah berbeda-beda tergantung manajemen pemeliharaan. Dengan demikian manajemen pemeliharaan dapat memengaruhi kejadian Brucellosis pada ternak sapi di suatu wilayah.
Penelitian ini menemukan bahwa peternak yang mempunyai jenis kelamin perempuan berasosiasi secara signifikan dengan kebiasaan yang tidak pernah menggunakan desinfektan di kandang dan tingkat kebersihan kandang. Peternak berjenis kelamin perempuan berpotensi mempunyai kandang yang kotor sebesar 9,9 kali dibanding peternak yang laki-laki. Asgedom H. (2016) dan Amaral (2016) menyatakan bahwa kandang yang kotor dapat berisiko tinggi terjadinya transmisi atau penularan penyakit Brucellosis.
Kategori umur peternak yang berasosiasi terhadap manajemen peternak yang berisiko tinggi dengan kejadian Brucellosis adalah umur 20-40 tahun berasosiasi secara signifikan dengan sistem pemeliharaan secara semi intensif. Peternak berusia 20-40 tahun berpotensi 2.9 kali melaksanakan sistem perkandangan secara semi intensif. Peternak berusia 41-60 tahun berasosiasi secara signifikan mempunyai kandang koloni bersama dengan potensi 3,8 kali dan memiliki kandang dengan kondisi yang kotor dengan potensi 7,1 kali. Sedangkan peternak berusia ³ 61 tahun berpotensi 23.6 kali tidak pernah melakukan desinfeksi pada kandangnya. Menurut Al-Majali et al. (2009), desinfeksi kandang berasosiasi terhadap kejadian Brucellosis. Sistem pemeliharaan secara semi intensif dan dilepaskan atau tidak dikandangkan berisiko tinggi terhadap kejadian Brucellosis karena kemungkinan terjadinya transmisi penyakit pada saat digembalakan (Makita K. et al. 2011). Penggunaan kandang koloni secara bersama akan menyebabkan kontrol pergerakan ternak sulit dilakukan karena dalam satu kandang terdiri dari beberapa pemilik ternak. Kondisi tersebut berisiko tinggi terhadap kejadian Brucellosis (Mohammed F.U. et al. 2011).
Tingkat pendidikan peternak setingkat SD dan SLTP berasosiasi secara signifikan dengan kondisi kandang yang kotor. Peternak dengan tingkat pendidikan SD dan SLTP masing-masing berpotensi 17,2 kali dan 9,6 kali memilki kandang dengan kondisi yang kotor. Tingkat pendidikan akan memengaruhi pola pikir seseorang dalam menerima informasi. Kemahiran menyerap pengetahuan akan meningkat sesuai dengan meningkatnya pendidikan seseorang dan kemampuan ini berhubungan erat dengan sikap seseorang terhadap pengetahuan yang diserapnya (Kartikasari et al., 2012 dalam Oktarianti E. 2014).  Tingkat pendidikan yang tinggi akan mencerminkan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Peternak yang berpendidikan lebih rendah pada umumnya sulit menerima berbagai informasi yang berhubungan dengan peternakan. Peternak tersebut lebih sering menerima informasi dari orang tua atau kerabat mereka (Prihatno, 2013).
Peternak dengan tipologi atau tujuan beternak untuk usaha sampingan berasosiasi secara signifikan dengan kondisi kandang yang kotor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak dengan tujuan beternak untuk usaha sampingan berpotensi 18.3 kali memiliki kandang dengan kondisi yang kotor daripada peternak dengan tujuan usaha pokok maupun sebagai cabang usaha. Peternak dengan tipologi cabang usaha, menjadikan usaha peternakan sebagai usaha tambahan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi tersebut akan memengaruhi peternak dalam manajemen peternakan, dan motivasi untuk beternak tidak akan setinggi peternak dengan tipologi usaha pokok (Oktarianti E. 2014).
Penelitian ini menunjukkan bahwa karateristik peternak berupa jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan dan tipologi berasosiasi secara signifikan dengan manajemen peternakan yang berisiko tinggi terhadap kejadian Brucellosis.

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, ternak sapi di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota tidak terinfeksi oleh bakteri Brucella abortus karena semua ternak sapi yang dijadikan sampel menunjukkan hasil pemeriksaan secara Rose Bengal Test (RBT) negatif. Sebagian besar peternak masih menerapkan manajemen peternakan dengan kondisi kandang yang kotor, tidak pernah melakukan desinfeksi, kandang koloni secara bersama-sama dan sistem pemeliharaan secara semi intensif yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kejadian Brucellosis pada sapi. 

Saran

Kajian Brucellosis pada sapi dapat dilanjutkan dengan kajian serologis Brucellosis pada manusia yang berpotensi terpapar oleh bakteri Brucella sp. diantaranya peternak, petugas kesehatan hewan dan petugas di rumah potong hewan ataupun masyarakat yang mengkonsumsi susu dan produk olahan susu sapi, kambing dan domba yang tidak dipasteurisasi.Penelitian lanjutan tersebut diharapkan dapat mengidentifikasi hubungan antara karakteristik atau prilaku seseorang terhadap faktor risiko yang memengaruhi kejadian Brucellosis pada manusia.

Daftar Pustaka

Al-Majali, A.M., Talafha, A.Q., and Ababneh, M.M.c2009. Seroprevalence  Risk Factors for Bovine Bucellosis in Jordan. J Vet Science. Vol 10 (1): 60-65.
 Alsubaie, S., Maha, A., Mohammed, A., Hanan, B., Essam, A., Sulaiman, A., Badria, A., and Ziad, A.M. 20005. Acute Brucellosis in Saudi famillies: Relationship between Brucella Serology and Clinical Symptons. Int. Journal Infec Dis. 9: 218-224.
 Amaral. 2016. Seroprevalensi dan Faktor Risiko Brucellosis pada Sapi di Distrik Bobonaro Timor Leste. Tesis. Universitas Udayana. Bali.
 Arut, A.F., Maghfiroh, K., Saputra, D., Ariyanti, T., Octaviani, R., Rahma, N., Afrilis. 2010. Booklet Beberapa Penyakit Zoonosa: Brucellosis. FKH. IPB.
 Asgedom, H., Damena D., and Duguma R. 2016. Seroprevalence of Bovine Brucellosis and Associated Risk Factors in and Around Alage District, Ethiopia. SringerPlus. Vol 5:851.
 Chin, J. 2007. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Ed ke-17. I Nyoman Kandun: penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari Control of Communicable Disease Manual.
 Crawford, R.P., Huber, J.D., Adams, B.S. 1990. Epidemiology and Surveillance. In: Animal Brucellosis. Nielsen KH and JR Duncan (Eds). Boca Raton (FL): CRC Press. Pp. 131-151.
Disnakeswan Kabupaten Lima Puluh Kota. 2015. Data Statistik Ternak Tahun 2015. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota.
Gul dan Khan. 2007. Epidemiology and Epizootology of Brucellosis: a Review. Pakistan Vet J. Vol 27(3): 145-151.
 Lake, P.R., Kusumawati, A., dan Budiharta. S. 2010. Faktor Risiko Bovine Brucellosis pada Tingkat Peternakan di Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara Timur. J.Sain Vet. Vol 28 No.1
 Lemeshow, S., Hosmer, D.W., Klar, J., and Lwanga, S.K. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
 Makita, K.,Fevre, E.M., Waisma, C., Eisler, M.C., Thrusfield, M., and Welburn S.C. 2011. Herd Prevalence of Bovine Brucellosis and Analysis of Risk Factor in Cattle in Urban and Peri-Urban Areas of the Kampala Economic Zone, Uganda. BMC Veterinary Research 2011, 7:60. 
Mohammed, F.U., Ibrahim S., Ajogi I., and Olaniyi, B.J.O. 2011. Prevalence of Bovine Brucellsis and Risk Factors Assessment in Cattle Herds in Jigawa State. ISRN Veterinary Science. Vol 2011, Article ID 132897.
Noor, S.M. 2006. Brucellosis : Penyakit Zoonosis yang Belum Banyak dikenal di Indonesia. Wartazoa 16 : 31-39.
Novita, R. 2013. Perencanaan Surveilans Brucellosis pada Manusia di Jawa Barat dengan menggunakan metode Geographical Information System (GIS). Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. Vol 3 (1) (1-10).
Oktarianti, E. 2014. Kajian Lintas Seksional dan Profil Biokimia Darah Kejadian Anestrus Pada Sapi Potong di Kabupaten Grobogan. Tesis UGM Yogyakarta.
Prihatno, S.A. 2013. Kajian Epidemiologi Kawin Berulang pada Sapi Perah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Disertasi. UGM.
Putra, A.A.G. 1998. Program Kajian Epidemiologi dan Dampak Ekonomi Brucellosis Terhadap Pendapatan Petani, Daerah dan Nasional. Makalah pada Workshop Brucellosis di Kupang, NTT.
Putra, A.A.G., I.G.M. Ekaputra, A.A.G. Semara Putra dan N.L. Dartini. 1995. Prevalensi dan Distribusi Reaktor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggara pada tahun 1994 – 1995. Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.
Syah, S.P., Saswiyanti, E., dan Nurhayati, I.S. 2011. Brucellosis di Indonesia. Makalah Kesehatan Mashyarakat Veteriner. IPB. Bogor.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar