Drh. Betty Indah Purnama, MPH
Dinas Peternakan dan Keswan Provinsi Sumatera
Barat
Corresponding author: betty_aswad@yahoo.com
A. Latar
Belakang
Keracunan pangan dapat menyebabkan
Kejadian Luar Biasa (KLB). Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan
adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit
dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi sesuatu
dan berdasarkan analisis epidemiologi, makanan tersebut terbukti sebagai sumber
keracunan.
KLB keracunan pangan dengan gejala utama diare dan
muntah serta beberapa gejala lain yang sering muncul pada beberapa kasus, maka
dapat ditetapkan diagnosis banding. KLB keracunan pangan karena
kuman Vibrio Parahemolitikus, Clostridium perfringens, Baksiler disenteri. Vibrio hemolitikus menunjukkan gejala
nyeri perut, mual, muntah, diare, menggigil, sakit kepala, dan kadang-kadang
badan panas. Clostidium perfringens
menunjukkan gejala mual, muntah, nyeri perut, diare, badan letih/lemas. Shigella dysentriae menunjukkan gejala
diare hebat berlendir dan berdarah, nyeri perut, panas badan dan sakit kepala
(Depkes, 2009).
Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) Republik Indonesia
melalui Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan secara rutin
memonitor KLB keracunan pangan di Indonesia khususnya keracunan yang telah
diketahui waktu paparannya (point source) seperti pesta, perayaan, acara
keluarga dan acara sosial lainnya.
Selama tahun 2004,
berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia telah terjadi
KLB keracunan pangan dengan data kasus
sebagai berikut yaitu frekuensi total kejadian 153 kejadian di 25 propinsi dan total kasus
keracunan pangan yang dilaporkan berjumlah 7347 kasus termasuk 45 orang
meninggal dunia. KLB keracunan pangan terbanyak di
Propinsi Jawa Barat yaitu sebesar 32 kejadian (21%), Jawa Tengah 17 kejadian
(11%), DKI Jakarta, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat masing-masing 11
kejadian (7,2%), Bali 10 kejadian (6,5%), Yogyakarta 9 kejadian (5,9%),
Kalimantan Timur 7 kejadian (4,6%), Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan
masing-masing 5 kejadian (3,3 %), Sumatera Barat dan Kalimantan Tengah dan Nusa
Tenggara Timur masing-masing 4 kejadian (2,6%), Sumatera Selatan, Lampung dan
Sulawesi Tenggara masing-masing 3 kejadian (2%), NAD, Jambi, Bengkulu, Sulawesi
Tengah dan Maluku masing-masing 2 kejadian (1,3%), Riau, Bangka Belitung,
Banten, dan Kalimantan Selatan masing-masing 1 kejadian (0,7%).
Ditinjau dari sumber
pangannya, terlihat bahwa yang menyebabkan keracunan pangan adalah makanan yang
berasal dari masakan rumah tangga 72 kejadian
(47,1%), industri jasa boga sebanyak 34 kali kejadian (22,2 %), makanan olahan 23 kali kejadian
(15,0 %), makanan jajanan 22 kali kejadian
(14,4 %) dan 2 kali kejadian (1,3 %) tidak dilaporkan. Berdasarkan data
tersebut sumber pangan penyebab keracunan pangan terbesar yaitu masakan rumah
tangga. Hal ini disimpulkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan
higiene pengolahan pangan (makanan dan air) dalam rumah tangga masih cukup
rendah. Keracunan pangan dapat
disebabkan oleh mikroba patogen dan cemaran kimiawi. Dari laporan hasil
analisis Balai POM diduga penyebab keracunan disebabkan mikroba patogen 21
kejadian (13,7%), kimia 13 kejadian keracunan (8,5%). Namun ternyata yang tidak
terdeteksi/tidak dapat dianalisis masih jauh lebih banyak, yaitu pada 119
kejadian 77,8% (Badan POM, 2007).
B. Definisi dan Etiologi Keracunan
Keracunan makanan, termasuk didalamnya intoksikasi
makanan dan infeksi karena makanan adalah penyakit yang didapat karena
mengkonsumsi makanan yang tercemar dan atau penyakit yang disebabkan oleh
pencemaran dengan bahan kimia seperti logam berat dan senyawa organik dalam
makanan/minuman (Chin, 2000). Menurut Bress (1995), suatu penyakit keracunan dicurigai
apabila sejumlah orang makan makanan bersama kemudian jatuh sakit. Menemukan bagian makanan mana yang terjadi
sumber penularan penyakit sulit dilakukan. Semua orang yang menyantap makanan
harus dikelompokkan berdasarkan komponen makanan yang disantap. Akan semakin sulit
bila makanan tersebut juga dikonsumsi di beberapa tempat yang berbeda dan waktu
makan tidak bersamaan.
C. Penyebab Keracunan Makanan
Kasus keracunan makanan menurut Kandun, (2000) lebih sering disebabkan oleh:
a.
Terbentuknya toksin yang
disebabkan oleh berkembangbiaknya bakteri dalam makanan sebelum dikomsumsi seperti
(Clostridium botulinum, Staphyloccoccus
aureus dan Bacillus cereus, keracunan
ikan scombroid, tidak ada hubungannya
dengan toksik spesifik tetapi disebabkan oleh karena meningkatnya kadar histamin)
atau toksik terbentuk di dalam usus seperti pada Clostridium perfringens.
b.
Infeksi yang disebabkan oleh
bakteri, virus atau parasit seperti (brucellosis,
Campylobacter enteritis, diare yang
disebabkan oleh Escherichia coli, hepatitis
A, listeriosis, salmonellosis,
shigellosis, toksoplasmosis, gastroenteritis oeh virus, taenisasis, trichinosis
dan vibrio).
c.
Toksin yang dihasilkan oleh
spesies algae yang berbahaya (keracunan ikan ciguatera, keracunan kerang yang
menyebabkan paralitik, keracunan kerang yang menyebabkan neurotoksik, keracunan
kerang yang menyebabkan diare dan
amnesia) atau racun yang ada pada spesies ikan tertentu seperti pada ikan
buntal. (Chin, 2000).
Racun adalah
zat atau bahan yang bila masuk ke dalam tubuh melalui mulut, hidung, suntikan
dan absropsi melalui kulit atau digunakan terhadap organisme hidup dengan dosis
relatif kecil akan merusak kehidupan atau mengganggu dengan serius fungsi satu
atau lebih organ atau jaringan. Sedangkan keracunan makanan adalah timbulnya
sindroma gejala klinik yang disebabkan karena memakan makanan tertentu
(Sartono, 2002).
Peristiwa
keracunan makanan dapat terjadi karena makanan mengandung toksin, makanan
tercemar bakteri patogen, makanan tercemar protozoa dan parasit, tumbuhan dan
hewan beracun serta keracunan bahan kimia antara lain:
1) Keracunan makanan karena Staphylococus
Keracunan makanan yang
disebabkan oleh Staphylococus merupakan bentuk yang paling umum dan sering terjadi. Makanan yang sering tercemar terutama makanan yang diolah
dengan tangan, baik yang tidak dimasak dengan sempurna atau karena proses pemanasan atau penyimpanan yang kurang tepat. Jenis makanan yang
sering terkena seperti pastries, custard, saus salad, sandwich, daging
cincang dan produk daging.
Toksin dapat juga
berkembang pada ham dan salami yang tidak dimasak dengan benar, dan dapat juga
pada keju yang diproses kurang sempurna. Makanan yang dibiarkan
pada suhu kamar untuk beberapa jam sebelum dikomsumsi akan mengakibatkan Staphylococcus yang memproduksi toksik akan berkembang biak dan
akan memproduksi toksik tahan panas.
Gejala yang ditimbulkan
oleh Staphylococcus muncul
secara mendadak dan berat dengan gejala
neusea yang berat, kejang-kejang, mual dan muntah, lemas tak berdaya dan sering
disertai dengan diare kadang-kadang disertai suhu tubuh di bawah normal dan
tekanan darah rendah, kematian jarang sekali terjadi. Biasanya kejadian ini
berlangsung 1 sampai 2 hari, diagnosa lebih mudah dilakukan apabila ditemukan
sekelompok penderita dengan gejala akut pada saluran pencernaan bagian atas,
dimana interval waktu antara saat mengkomsumsi makanan tercemar dengan
munculnya gejala klinis sangat pendek.
Keracunan ini disebabkan
oleh kokus gram positif kecil, Staphylococus yang sama
bertanggung jawab atas benyak masalah infeksi di rumah sakit. Hidung merupakan
bagian tubuh tempat organisme itu hidup dan berkembang biak, tetapi orang dapat membawa organisme ini
pada pakaian, tangan dan bagian lain tubuhnya
dan juga pada bisul atau infeksi kulit.
Sifat enterotoksin Staphylococus
yang sangat penting ialah stabilitasnya terhadap panas. Sekali enterotoksin Staphylococus
terbentuk, tidak mungkin dihancurkan walaupun bila makanan itu dipanaskan. Ciri keracunan makanan akibat staphylococus
yang sangat menonjol adalah diare yang hebat, muntah-muntah, dan sakit perut
dengan masa inkubasi antara 1-6 jam (Volk, 1990).
2) Keracunan makanan karena Shigella
Shigella adalah genus bakteri yang merupakan
penyebab utama diare dan disentri - diare dengan darah dan lendir dalam tinja - di seluruh
dunia. Bakteri ini ditularkan melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi atau
air, atau melalui orang-ke-orang kontak. Di dalam tubuh, mereka dapat menyerang
dan menghancurkan
sel-sel yang melapisi usus besar, menyebabkan ulserasi mukosa dan diare berdarah. Selain diare, gejala
infeksi Shigella termasuk demam, kram perut, dan nyeri rektum. Kebanyakan
pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu tujuh hari. Shigellosis dapat
diobati dengan antibiotik, meskipun beberapa strain telah resistensi obat (WHO, 2011).
Infeksi Shigella dapat diperoleh dari makan makanan yang
terkontaminasi. Makanan yang terkontaminasi biasanya terlihat dan bau normal.
Makanan dapat menjadi terkontaminasi oleh penjamah makanan yang terinfeksi yang
lupa untuk mencuci tangan mereka dengan sabun setelah menggunakan kamar
mandi. Sayuran dapat menjadi
terkontaminasi jika mereka dipanen dari lapangan dengan kotoran di dalamnya. Lalat dapat berkembang biak
dalam kotoran yang terinfeksi dan kemudian mencemari makanan. Air dapat menjadi terkontaminasi dengan bakteri Shigella
jika limbah berjalan ke dalamnya, atau jika seseorang dengan berenang. Infeksi Shigella kemudian
dapat diperoleh dengan minum, berenang, atau bermain dengan air yang terkontaminasi (CDC,
2009b).
3)
Keracunan
makanan karena Bacillus cereus.
Keracunan oleh bakteri ini ditandai dengan adanya serangan
mendadak berupa mual, muntah-muntah, ada juga yang disertai kolik dan diare.
Lamanya sakit umumnya tidak lebih dari 24 jam dan jarang sekali menimbulkan
kematian. Pada saat terjadi KLB
diagnosa ditegakkan dengan melakukan pembiakan kuantitatif dengan kultur media
selektif untuk memperkirakan jumlah kuman pada makanan yang dicurigai atau
dengan isolasi kuman dari tinja yang berasal dari 2 orang penderita atau lebih
dan bukan dari tinja kontrol. Pemeriksaan enterotoksin sangat
bermanfaat untuk penegakan diagnosa
tetapi tidak mungkin dilakukan secara luas. Makanan yang mengandung Bacillus cereus selama
24 jam akan mengakibatkan keracunan makanan dengan gejala sakit perut yang
hebat dan diare beberapa jam setelah makan makanan tersebut. Dua bentuk keracunan makanan akibat Bacilluss
cereus yaitu :
-
Penyakit
dengan masa inkubasi 10-12 jam dengan gejala diare yang berlebihan selama 12-24 jam dengan sesekali
disertai muntah.
-
Penyakit
dengan masa inkubasi 1-6 jam dengan gejala muntah-muntah dengan atau tanpa
diare ringan, berlangsung selama 6-24 jam.
Bacilluss cereus mudah terdapat dalam tanah dan makanan mentah dan kering seperti beras yang belum dimasak. Spora-sporanya tidak
mati selama dimasak, pemanasan singkat atau penggorengan cepat karena tidak selalu merusak enterotoksin
yang sudah berkembang terutama toksin yang stabil panas (Volk,1990). Terdapat 2 jenis enterotoksin yang
dihasilkan bakteri anaerob pembentuk spora yaitu enterotoksin tahan
panas (heat stable) yang menyebabkan
muntah-muntah dan enterotoksin yang tidak tahan panas (heat labile) yang menyebabkan diare.
4) Keracunan makanan karena Streptoccocus
Streptococcus merupakan salah satu bakteri yang paling
sering menyebabkan keracunan makanan selain salmonella,
staphylococcus dan E.coli. Sedangkan spesies Streptococcus yang sering ditemukan sebagai penyebab
keracunan makanan adalah Streptococcus avium, S. bovis, S. durans, S. faecium dan S. Faecalis. Proses kontaminasi makanan oleh streptococcus dapat terjadi ketika makanan sedang diproses, dikemas atau pada saat penyimpanan. Pada saat pengiriman makanan dapat juga
terekspos oleh bakteri tersebut. Bahkan kontaminasi
dapat terjadi ketika makanan disiapkan diatas meja dalam waktu
yang cukup lama sebelum dimakan. Gejala penderita Streptoccocus biasanya mual, kejang perut,
demam, menggigil, diare dan muntah. Masa
inkubasi berkisar antara 2-36 jam (George, 2011).
5) Keracunan makanan karena
Salmonella
Keracunan makanan yang disebabkan oleh Salmonella biasanya berjenis enteritis
yang merupakan organisme yang hidup di dalam usus dan tidak menghasilkan
toksin. Manusia yang terinfeksi Salmonella akan mengalami gejala mual, muntah, diare, demam, lemah, sakit
perut. Masa inkubasinya adalah antara 8 – 48 jam. Pada kasus ini tidak diperlukan pengobatan dengan anti mikroba,
kecuali jika ada penyebaran sistemik. Pemeriksaan laboratorium biasanya
ditemukan pada biakan tinja penderita positif. Infeksi Salmonella dapat
menyebabkan karier (pembawa kuman), yang berkepanjangan pada seseorang.
Penularan salmonella terjadi melalui makanan laut, daging, unggas, susu dan
telur yang terkontaminasi.
6) Keracunan makanan karena Clostridium botulinum
Pada
umumnya penyakit ini ringan dan berlangsung pada waktu yang singkat (1 hari
atau kurang) dan jarang berakibat fatal pada orang yang sehat, Clostridium
botulinum tersebar dalam tanah, pada dasar danau dan vegetasi yang membusuk. Gangguan pencernaan ditandai dengan gejala kolik yang
mendadak diikuti dengan diare dan biasanya
akan timbul rasa mual tetapi jarang terjadi muntah dan demam. Endospora Clostridium
botulinum sangat resisten terhadap panas dan bertahan pada suhu air mendidih
selama beberapa jam. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan ditemukannya enterotoksin pada tinja penderita dengan cara
kultur tinja untuk mengetahui jenis enterotoksin yang ada pada tinja penderita (Volk, 1990).
7) Keracunan makanan
karena Clostridium perfringen
Keracunan
makanan ini disebabkan oleh toksin berbagai macam sero tipe basil
anaerob Clostridium perfringen tipe A
yaitu nyeri perut, diare, dengan prognosis baik. Tipe C yaitu radang usus yang
disertai kematian jaringan dengan prognosis jelek. Laboratorium dengan biakan
anaerob semi kwatitatif feses dan makanan yang dicurigai (kontaminasi bakteri
yang berat diperlukan untuk penyakit klinik). Masa inkubasi adalah sekitar 6-24
jam, biasanya 10-12 jam. Cara penularan melalui
lembu, babi, burung unta, ayam atau tanah yang mengandung spora, yang
tumbuh selama dimasak pada suhu sedang dan pada pemanasan kembali, tidak
terjadi penularan dari orang ke orang secara langsung.
8) Keracunan makanan karena Parahaemolyticus
Keracunan ini
disebabkan oleh Vibrio
parahaemolitycus. Gejala – gejala yang muncul biasanya ditandai dengan diare, keram
perut disertai mual, muntah, panas dan sakit kepala. Vibrio parahaemolitycus selama musim
dingin ditemukan di lumpur pantai dan pada musim panas ditemukan bebas di air
laut pada ikan dan kerang. Keracunan terjadi karena makan hasil laut seperti ikan,
udang atau kerang yang tidak dimasak sempurna. Masa inkubasi 12 – 24 jam dengan
interval 4 – 96 jam.
9) Keracunan makan karena Escherichia coli
Keracunan
makanan yang disebabkan terkontaminasi E.
coli akan menimbulkan gejala seperti mual, muntah, diare, kejang perut,
keringat dingin, sakit kepala. E. coli adalah singkatan dari Escherichia
coli,
bakteri (kuman) yang menyebabkan kram yang parah dan diare. E. coli merupakan penyebab utama diare berdarah. Gejala-gejala
lebih buruk pada anak-anak dan orang tua, dan terutama pada orang yang memiliki
penyakit lain. Infeksi E. coli lebih sering terjadi selama bulan-bulan musim panas dan di
negara-negara utara. E coli merupakan organisme yang tumbuh didalam usus yang menghasilkan
toksin menyerang epitel superfisial, sehingga menimbulkan hipersekresi usus
halus. Pada penderita biasanya sembuh sendiri dalam waktu 1 – 3 hari, tanpa
pemakaian anti mikroba. Masa inkubasi adalah antara 5 – 48 jam. Penularan terjadi
melalui makanan, minuman dan daging sapi terutama bagian dalam yang
terkontaminasi E. coli. Pencegahan
dapat dilakukan dengan cara pengelolaan bahan makanan dan minuman dengan baik,
yaitu dengan memasak atau memanasi bahan makanan sampai dengan suhu ≥ 68°C (CDC, 2009a).
Daging bisa terkontaminasi dengan kuman selama proses pemotongan.
Ketika daging sapi diletakkan
dilantai maka, kuman E. coli
ikut tercampur
bersama
daging. Cara yang paling umum terinfeksi ini adalah
dengan makan makanan tercemar E. coli dan makanan tersebut tidak dimasak dengan menggunakan suhu tinggi untuk memasak daging sapi atau jika
memasaknya tidak cukup lama. . Ketika makan daging kurang matang, kuman masuk ke
perut dan usus. Kuman juga dapat ditularkan dari orang ke orang. Jika seseorang memiliki infeksi
ini dan tidak mencuci tangan dengan sabun setelah pergi ke kamar mandi, maka dapat memberikan
kuman kepada orang lain ketika orang
tersebut menyentuh sesuatu benda, terutama makanan.
(Family Doctor, 2011)
(Family Doctor, 2011)
Tanda pertama adalah kram
perut yang parah yang mulai tiba-tiba. Setelah beberapa jam, diare berair
dimulai. Diare menyebabkan tubuh
kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi). Diare berair berlangsung
selama sekitar satu hari. Infeksi luka di ususda, sehingga tinja menjadi
berdarah. Diare berdarah berlangsung selama 2 sampai 5 hari. Anda mungkin
memiliki 10 atau lebih buang air besar sehari. Anda mungkin mengalami demam
ringan atau tidak demam. Anda juga
mungkin mengalami mual atau muntah. Jika Anda memiliki gejala-gejala tersebut –
diare berair,
kadang sampai diare berdarah, kram, demam, mual atau muntah untuk segera mendapatkan pertolongan dokter (CDD, 2009a).
10). Keracunan histamin
Gejala keracunan histamin ditandai dengan gatal dan rasa panas di sekitar mulut, kemerahan pada
wajah dan berkeringat, mual dan muntah, sakit kepala, jantung berdebar, pusing
dan ruam pada kulit yang muncul beberapa jam. Keracunan biasanya terjadi setelah makan ikan yang mengandung histamin bebas
dengan kadar tinggi (lebih dari 200 mg/100 gram ikan). Hal
ini terjadi apabila ikan mengalami
dekomposisi bakteri setelah ditangkap. Gejala ini dapat hilang
dengan segera dalam waktu 12 jam. Gejala yang muncul dikaitkan dengan ikan
famili Scomberesocidae (ikan tuna,
mackerel, skipjack dan bonito) yang banyak mengandung kadar histidine yang tinggi dan mengalami
dekarbonisasi membentuk histamin yang dilakukan bakteri dalam tubuh ikan. Namun demikian keracunan dapat juga terjadi jika
mengkomsumsi ikan-ikan selain
famili Scromboid seperti mahi-mahi (ikan
lumba-lumba, Ikan blue fish dan ikan salmon). Diagnosa
ditegakkan dengan ditemukannya histamin pada ikan yang secara epidemiologis
diduga sebagai penyebab terjadinya keracunan.
11) Tumbuhan dan hewan beracun
Keracunan karena mengkonsumsi makanan
yang berasal dari tumbuhan atau hewan yang beracun seperti cendawan atau jamur
yang beracun, jengkol, singkong, kepiting dan hasil laut lainnya.
12) Keracunan
bahan kimia.
Logam, non logam dan senyawa kimia
organik yang terdapat dalam makana biasanya dalam jumlah sedikit, bila dalam
jumlah banyak dapat menjadi racun. Logam dan senyawa kimia organik dalam jumlah
yang berbahaya terdapat dalam makanan dapat karena :
a)
Merupakan komponen alami, misalnya kandungan asam oksalat
dalam daun bayam yang tinggi. Jumlah asam oksalat yang tinggi dapat menyebabkan
kalsium yang terdapat dalam daun bayam tidak mempunyai nilai, bahkan berbahaya
bagi kesehatan tubuh kita.
b)
Penggunaan pestisida : penggunaan rodentisida,
insektisida, fungisida, germisida dan pestisida lainnya sering digunakan agar
buah-buahan dan sayuran terlindung dari gangguan tikus, serangga, jamur,
bakteri dan mikroorganisme.
c)
Logam dan senyawa kimia dari alat masak, logam atau senyawa kimia yang terlarut dari alat masak atau kontainer yang
digunakan untuk mengolah dan menyimpan makanan, dapat menyebabkan keracunan
makanan.
d)
Penambahan dengan sengaja, dalam tahap pengolahan dapat
terjadi penambahan lain dengan sengaja, misalnya penggunaan berlebihan pengawet
daging yang mengandung natrium nitrit
sebagai pengganti garam. Demikian juga pengawet lain seperti formaldehid, asam monokloroasetat, borat, natrium benzoat, salisilat acid dan lain-lain. Untuk memperbaiki warna atau menutupi
warna aslinya ditambahkan zat warna yang sering bersifat karsinogenik seperti :
azotoluen, aminoazobenzen.
13) Makanan mengandung toksin
Keracunan makanan (food intoxication) dapat terjadi karena
makanan tercemar oleh toksin. Keracunan yang sering terjadi disebabkan oleh
makanan mengandung eksotoxin dan enterotoxin. Keracunan karena eksotoxin terjadi karena makanan nonasam
dalam kaleng yang diproses kurang sempurna sehingga Clostridium botolinum atau sporanya masih dapat tumbuh. Makanan
tersebut antara lain daging, sayuran dan buah-buahan. Keracunan karena enterotoxin terjadi karena makanan
terkontaminasi oleh bakteri staphylococcus,
Clostridium perfringens, Basiluis cereus dan Vibrio parahemoliticus. Pencemaran terjadi karena makanan dibiarkan
terbuka atau spora yang masih ada tumbuh kembali. Makanan yang dapat tercemar
antara lain daging, lidah sapi, produk ikan, produk berbahan dasar susu, telur dan sosis.
D. Manifestasi Keracunan Makanan
Keracunan
makanan pada manusia termanifestasi secara lokal (setempat), sistemik atau
gabungan keduanya setelah racun diabsorpsi dan masuk kedalam sistem peredaran
darah.
a.
Lokal, sifat korosif racun akan merusak atau
mengakibatkan luka pada selaput lendir atau jaringan yang terkena. Beberapa racun akan
menyebabkan radang pada selaput lendir saluran cerna secara lokal dan beberapa
racun lain secara lokal mempunyai efek pada sistem syaraf pusat dan organ tubuh
lain seperti jantung, hati, paru dan
ginjal, tanpa sifat korosif dan iritan.
b.
Sistemik, setelah memberikan efek secara lokal, biasanya
racun diabsorpsi dan masuk ke dalam sistem peredaran darah dan akan
mempengaruhi organ-organ tubuh yang penting. Pada dasarnya racun akan
mempengaruhi semua organ tubuh tetapi dengan tingkat yang berbeda sehingga sukar untuk menyatakan bahwa ada
racun yang efeknya selektif.
c.
Efek dan gejala yang
ditimbulkan akibat keracunan antara lain terjadi pada sistem pencernaan makanan
(muntah, diare, perut kembung dan kerusakan hati sebagai akibat keracunan obat
dan bahan kimia), pernapasan (misalnya hipoksia dan dipresi pernapasan, edema
paru dan ventilasi paru), kardiovaskuler (misalnya syok, gagal jantung kongesti
dan jantung berhenti berfungsi), urogenital (gagal ginjal dan retensi urin),
darah dan hemopoitika (methemoglobinemia, agranulositosis dan diskrasias darah
lain, dan reaksi hemolitik) serta sistem syaraf pusat (konvulsi, koma,
hipoglikemia, hiperaktivitas, delirium, dan maniak) (Sartono, 2002).
E. KLB Keracunan Makanan
Kejadian luar biasa
keracunan makanan adalah keadaan dimana dua orang atau lebih banyak orang menderita
penyakit dengan
gejala-gejala yang sama atau hampir sama yang biasanya terjadi sesudah mengkonsumsi makanan dan secara epidemiologis terbukti makanan
tersebut sebagai sumber keracunan (Depkes RI, 2009).
Terjadinya keracunan makanan dicurigai apabila
sejumlah orang makan makanan bersama kemudian jatuh sakit. Walaupun untuk menemukan bagian makanan
mana yang menjadi sumber penularan penyakit terkadang sulit dilakukan. Semua orang yang menyantap
makanan harus dikelompokkan berdasarkan komponen makanan yang disantap. Akan
semakin sulit bila makanan tersebut juga dikonsumsi di beberapa tempat yang
berbeda dengan waktu makan yang tidak bersamaan (Bress, 1995).
Faktor- faktor yang berperan dalam
meningkatkan kejadian keracunan makanan diantaranya antara lain :
a.
Industrialisasi, Urbanisasi dan Perubahan Gaya Hidup
Industrialisasi dan urbanisasi akan memperpanjang rantai makanan,
sekaligus meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi. Perbaikan standar
kehidupan terutama golongan menengah atas, mengarah pada peningkatan selera
mengonsumsi daging hewan. Hal ini akan menambah risiko terpapar bakteri
pathogen yang ditularkan lewat daging, unggas, susu dan produknya.
b.
Populasi yang padat
Proporsi masyarakat yang peka terhadap keracunan makanan seperti lansia,
penderita infeksi immunosupresif, bencana alam yang meningkat akan menyebabkan
kejadian keracunan makanan juga meningkat.
c.
Perdagangan bebas
Pasar bebas, baik ditingkat regional atau internasional mempunyai risiko terhadap peningkatan kejadian
keracunan makanan, bahkan keracunan lintas wilayah. Contoh Salmonella pernah
dijumpai di negara-negara Amerika Utara dan Eropa lewat sayuran yang berasal dari
negara-negara subtropis (Arisman, 2009).
Kriteria untuk menetapkan suatu kejadian merupakan Kejadian
Luar Biasa menurut Dirjen PPM & PLP Depkes (1995) antara lain :
1) Timbulnya suatu penyakit menular
yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal di suatu daerah.
2) Terjadinya peningkatan kejadian
kesakitan/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan jumlah
kesakitan/kematian yang biasa terjadi pada kurun waktu yang sama tahun
sebelumnya.
3) Jumlah penderita baru dalam 1
bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan angka
rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
4) Angka rata-rata kejadian
kesakitan/kematian per bulan selama 1 tahun menunjukkan kenaikan 2 kali lipat
atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dari tahun sebelumnya.
5) Proportional Rate penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikan 2 kali
atau lebih dibandingkan periode yang sama pada kurun waktu tahun sebelumnya.
6) Beberapa penyakit khusus, seperti
Kolera, DHF/DSS, setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya pada daerah
endemis, terdapat 1 atau lebih penderita baru dimana periode 1 minggu
sebelumnya di daerah dinyatakan bebas dari penyakit tersebut.
7) Beberapa penyakit yang dialami 1
atau lebih penderita keracunan makanan dan keracunan Pestisida.
Referensi
Arisman, MB, 2009. Keracunan Makanan, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Badan POM RI, 2007, Mekanisme dan Prosedur Tetap (Protap) Penyelidikan
dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Indonesia,
Badan POM RI, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional,
2009, Batas Maksimum Cemaran Mikroba
dalam Pangan, BSN Jakarta.
Bres, P., 1995, Tindakan Darurat Kesehatan Masyarakat Pada Kejadian Luar Biasa ;
Petunjuk Praktis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
CDC,
2009a, Escherichia coli,Tersedia
dalam http://www.cdc.gov/ecoli/, (Diakses tanggal 28 September 2011).
CDC,
2009b, Shigellosis, Tersedia
dalam http://www.cdc.gov/nczved/ divisions/ dfbmd/ diseases/ shigellosis, (Diakses tanggal 28 September 2011).
Chin. James, 2000, Control Of Communicable Diseases Manual, American Public Health
Association, Washinton, DC 20001-3710.
Depkes RI, 2009, Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Penyakit Menular dan Keracunan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta
Family Doctor Org, 2011, E. coli, Tersedia dalam http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/disorders, (Diakses 25 September 2011)
Goerge Dana, 2011, Food Poisoning Caused Streptococcus, Tersedia dalam
http://www.ehow.com/how-does_5510092_food-poisoning-caused-streptococcus.html, (Diakses
tanggal 25 September 2011)
Kandun, I.N., 2000, Manual
Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17, James chin MD. MPH Editor (tidak
diperjual belikan).
Sartono, 2002, Racun dan Keracunan, Widya Medika,
Jakarta.
Sholeh Imari, 2011. Investigasi KLB Keracunan Pangan.
Kementrian Kesehatan RI.
Skylark Medical Clinic, 2011, Streptococcus Food Poisoning, Tersedia
dalam http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id &u=http://www.skylarkmedicalclinic.com/Streptococcalfoodpoisoning.htm, (Diakses tanggal 6 Juni 2011)
Stedman's Medical Spellchecker. 2006, Citrobacter freundii.
Lippincott Williams
& Wilkins. available from: http://www.rightdiagnosis.com/medical/citrobacter_freundii.htm, (Diakses
Tanggal 7 Januari 2012).
Volk Wesley A., 1990, Mikrobiologi Dasar,
Erlangga, Jakarta.
WHO,
2011, Shigella, Tersedia dalam http://www.who.int/topics/shigella, (Diakses
tanggal 12 Oktober 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar