SURVEI BRUCELLOSIS PADA SAPI DI UPT PETERNAKAN DAN PUSKESWAN WILAYAH III
KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
Eka Oktarianti1, Betty
Indah Purnama2
1UPT Peternakan dan Pukeswan Wilayah III Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab. Lima Puluh Kota
2Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Sumatera Barat
E-mail :
eka.oktarianti26@yahoo.co.id
Abstrak
Brucellosis adalah penyakit zoonosis yang dapat
menyebabkan kerugian ekonomi dan berdampak terhadap kesehatan manusia, terutama
di negara berkembang. Provinsi Sumatera Barat sejak tahun 2009 telah dinyatakan
bebas brucellosis, kegiatan
penyelidikan dan pengawasan (surveillance)
yang merupakan bagian dari program pencegahan dan penanggulangan brucellosis telah dilaksanakan secara
berkala dan berkelanjutan untuk mempertahankan status bebas dan melindungi
ternak dari brucellosis. Tujuan
penelitian ini adalah identifikasi brucellosis
pada sapi, serta menggambarkan manajemen peternakan di dua Kecamatan (Akabiluru
dan Situjuah Limo Nagari). Sejumlah 100 ekor sapi di Kecamatan Akabiluru dan
Kecamatan Situjuah Limo Nagari digunakan dalam sebuah kajian deteksi penyakit.
Sampel pada tingkat kecamatan dan desa berdasarkan alokasi proporsional (proportional sampling), sedangkan sampel
pada dusun diambil secara random. Penentuan status brucellosis adalah reaksi positif Complement Fixation Test (CFT) dari reaktor positif Rose Bengal Test (RBT). Hasil penelitian
menunjukkan prevalensi brucellosis di
sub-district (Akabiluru dan Situjuah Limo Nagari) III adalah negatif, tidak ada
ternak sapi yang positif RBT berdasarkan pemeriksaan sampel oleh BLKKH Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan Propinsi Sumatera Barat. Hasil analisa bivariat terhadap karakteristik
peternak dengan manajemen peternak yang berisiko tinggi terhadap kejadian brucellosis adalah jenis kelamin
perempuan, umur peternak, pendidikan dan tipologi peternak. Hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa prevalensi brucellosis
pada sapi negatif, namun beberapa karakterisitk peternak secara signifikan
berasosiasi dengan manajemen peternakan yang mempunyai risiko tinggi terjadinya
brucellosis.
Kata
kunci : brucellosis, prevalensi,
faktor risiko
Pendahuluan
Brucellosisatau penyakit keluron menular
dantermasuk salah satu penyakit hewan menularsrategis karena penularannya yang
relatif cepat antar daerah dan lintas batas (Syah et al. 2011). Di beberapa daerah di Indonesia kejadian brucellosis masih tinggi, meskipun angka
kematian rendah namun dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar.
Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella sp., dari famili Brucellaceae, berbentuk coccobacilosis atau batang pendek dan
termasuk gram negatif yang bersifat patogenik, baik pada manusia maupun hewan.
Bakteri ini adalah parasit obligat intraseluler karena berpledileksi di dalam
sel dan mempunyai kemampuan untuk menginvasi semua jaringan hewan sehingga
dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi (Gul dan Khan, 2007; Chin, 2007).Brucella sp. apabila masuk ke dalam sel
maka akan dimakan oleh neutrofil dan sel makrofag, kemudian masuk ke
limfoglandula. Bakterimia akan muncul apabila sistem kekebalan tubuh tidak
mampu mengatasi pada 1-3 minggu setelah infeksi (Noor, 2006). Bakteri ini dapat
hidup diluar tubuh induk semang pada berbagai kondisi lingkungan dan dalam
jangka waktu tertentu (Crawferd et al.
1990; Madiha. 2011).
Hewan
yang rentan terhadap brucellosis
adalah sapi, domba, kambing dan babi. Sumber penularan yang potensial dari
hewan ke manusia adalah sapi perah dan domba (Novita, R. 2013).Brucella abortus adalah bakteri penyebab
brucellosis pada sapi. Pada sapi betina yang terinfeksi biasanya asimptomatik,
sedangkan pada sapi bunting bakteri dapat menimbulkan plasentitis yang dapat
menyebabkan abortus/ keguguran pada umur kebuntingan lima sampai sembilan bulan
dan juga dapat lahir tetapi anak yang dilahirkan lemah. Keguguran biasanya terjadi
pada infeksi pertama dan pada saat terjadi keguguran tersebut sapi akan mensekresikan
bakteri brucella sp. dalam jumlah
yang banyak di cairan fetus, membran fetus, cairan reproduksi, urin dan feses
(Arut dkk. 2010). Infeksi brucellosis
juga dapat menyebabkan terjadinya infertilitas pada ternak baik temporer maupun
permanen, terjadi penularan pada sapi-sapi lain baik jantan maupun betina dalam
satu kelompok ternak maupun antar kelompok ternak. Masalah reproduksi yang
sering muncul diantaranya adalah kawin berulang, retensi plasenta dan metritis
(Al-Majali, A. et al. 2009).
Brucellosis bersifat zoonosis karena dapat
menular dari hewan ke manusia. Pada manusia disebut sebagai demam undulan, Medateranian fever atau Malta fever dan menjadi masalah
kesehatan yang penting (Makita et al.,
2011). Sumber penularan yang umum dari penyakit pada manusia adalah kontak
dengan plasenta, fetus, cairan/organ reproduksi hewan, darah dan urin. Dokter
hewan, petugas inseminator, mantri hewan, petugas rumah potong hewan, tukang
perah susu mempunyai risiko tinggi tertular brucellosis
jika bekerja di daerah tertular (Alsubaie et
al. 2005). Penularan pada manusia juga dapat terjadi karena mengkonsumsi
susu dan daging asal hewan yang terkontaminasi bakteri Brucella sp.
Pada
hewan, Brucella sp. terdapat pada
fetus, plasenta dan lendir vagina (pada minggu ke-4 sampai minggu ke-6 setelah
abortus), semen, urin, air liur, cairan dari rongga hidung dan mata, susu serta
feses. Dapat ditularkan melalui fetus, selaput fetal yang mengalami abortus dan
stillbirth, serta melalui hubungan
kelamin. Brucella sp. masuk ke dalam
tubuh melalui mulut, saluran reproduksi, oronasal, mukosa konjunctiva, luka
terbuka dan transfusi darah. Padang rumput, pakan dan air yang tercemar olehselaput
janin atau cairan yang keluar dari rahim yang terinfeksi juga dapat menjadi
sarana penularan penyakit. Brucellosis juga dapat menular melalui
kontak langsung dengan kulit yang terluka, ambing terinfeksi dan inseminasi atau
kawin alam dengan semen yang tercemar Brucellosis.
Brucellosis menyebabkan kerugian meskipun
mortalitasnya rendah, sebagai akibat keguguran ataupun kematian fetus dan
keberadaan hewan karier serta penurunan produksi susu sebesar 20% (Aiello dan
May. 1998), sehingga berdampak terhadap penurunan produksi, produktivitas dan
reproduktivitas serta dapat menghambat
perdagangan ternak karena tidak dapat dijadikan bibit. Berdasarkan Peraturan
Menteri Pertanian No.59/Permentan/HK.060/8/2007, Brucellosis digolongkan Penyakit Hewan Menular Strategis, dan
termasuk dalam Penyakit Hewan Karantina Golongan II berdasarkan Peraturan
Menteri Pertanian No. 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan Jenis-jenis
Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa.
Di
Indonesia, Lobel et al. secara
serologis menemukan Brucellosis pertama kali tahun 1935, ditemukan pada sapi
perah di Grati Kabupaten Pasuruan Propinsi Jawa Timur, dan berhasil di isolasi
tahun 1938.Kemudian Brucellosis tersebar
di berbagai daerah di Indonesia dan bersifat endemis. Prevalensi antar wilayah
berbeda-beda tergantung manajemen pemeliharaan. Brucellosis secara serologis telah ditemukan di beberapa pulau di
Indonesia yaitu di Sumatra,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Pulau di Nusa Tenggara (Putra et
al. 1995). Pada tahun 2002 Pulau Lombok dinyatakan bebas bersyarat, tahun
2006 Pulau Sumbawa juga dinyatakan
bebas, kemudian pada tahun 2009 beberapa propinsi lainnya yaitu Propinsi
Sumatra Barat, Jambi, Riau, Kepulauan Riau dan Pulau Kalimantan telah
dinyatakan bebas. Sumatera Barat secara rutin telah melakukan surveillance terhadap penyakit Brucellosis untuk mempertahankan status
bebas dan melindungi ternak dari brucellosis.
Salah satu kegiatan tersebut adalah penanggulangan dan pengendalian penyakit rucellosis melalui pengamatan dan
pengujian sampel atau spesimen dan
mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang dapat memengaruhi terjadinya Brucellosis.
Tujuan Penelitian
Tujuan
dilakukannya survei tentang Brucellosis
pada sapi di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III Kabupaten Lima Puluh Kota
adalah sebagai berikut :
1. Identifikasi Brucellosis pada sapi di UPT
Peternakan dan Puskeswan Wilayah III Kabupaten Lima Puluh Kota.
2.
Menggambarkan
manajemen peternakan di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III Kabupaten Lima
Puluh Kota.
Materi dan Metode
Survei
ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan menyidik faktor risiko yang
berpengaruh terhadap penyakit Brucellosis.
Variabel dependen (Y) adalah sapi yang mengalami Brucellosis, sedangkan faktor risiko sebagai variabel independen
(X) adalah jenis kelamin peternak, pekerjaan, tipologi, pendidikan, pengalaman
beternak, jumlah ternak, tipe peternakan, tipe kadang, sumber air, penggunaan
desinfektan, kondisi kandang, sistem pemeliharaan, padang rumput, pengetahuan
tentang Brucellosis, asal ternak,
umur ternak, jenis kelamin ternak, bangsa/ras, bunting, pernah mengalami
keguguran, penanganan limbah paska partus, skor kondisi tubuh, cara kawin, dan
siklus estrus.
Pengumpulan
data primer dilakukan dengan wawancara dan kuisioner terhadap peternak,
pengamatan terhadap ternak dan peternakan, pemeriksaan kesehatan ternak, dan pengambilan
sampel darah. Data sekunder adalah data populasi
ternak di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III berdasarkan Data Statistik
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2015.Pengambilan sampel dilakukan pada peternak
di jorong-jorong pada nagari-nagari dalam satu kecamatan wilayah Puskeswan.
Penetapan besaran sampel menggunakan rumus Lemeshow et al. (1997) dengan cara perhitungan sebagai berikut :
n
= Z2-a / 2 x P (1-P) N
d2 (N-1) + Z21-a/2 P(1-P)
|
Keterangan
:
a = 5 %
Z2
1-a/2 = 1,96
d
= 10 % (presisi)
P
= 50 % (proporsi)
Jumlah sampel di setiap kecamatan dan
nagari di wilayah Puskeswan, dilakukan dengan sampel alokasi proporsional (proportional sampling) menggunakan rumus
:
Fraksi sampel = Besar sampel
x jumlah ternak
sapidi kanagarian
Populasi
ternak sapi di kec (Puskeswan)
Pengambilan
sampel peternak dengan menggunakan random
sampling di jorong-jorong pada beberapa nagari di wilayah kerja UPT Wilayah
III (Kecamatan Situjuah Limo Nagari dan Kecamatan Akabiluru). Sampel serum
darah dikirim keUPTD BLKKH Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Sumatera Barat untuk dilakukan pemeriksaan Brucellosis.
Data
dianalisis secara univariat (frekuensi dan distribusi), serta bivariat (uji chi-square (c2) dan (odds ratio),
dengan menggunakan software Statistic for Windows Version 8.
Hasil
Prevalensi Brucellosis
Berdasarkan
hasil pemeriksaan 100 sampel secara serologis (RBT) di BLKKH Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat menunjukkan hasil negatif. Hasil pemeriksaan disajikan pada Tabel 1.
Tabel
1. Hasil pemeriksaan Brucellosis di
BLKKH
Variabel
|
Keterangan
|
Hasil
|
Prevalensi
|
Brucellosis
|
0% (0/100)
|
Hasil
pemeriksaan pada 100 ekor ternak menunjukkan hasil pemeriksaan Rose Bengal Test (RBT) negatif, dengan
demikian semua ternak tidak ada yang terinfeksi Brucellosis. Sumatera Barat pada tahun 2009 telah dinyatakan bebas Brucellosis, dan secara rutin melakukan surveillance terhadap penyakit Brucellosis untuk mempertahankan status
bebas dan melindungi ternak dari Brucellosis.
Analisis univariat terhadap variabel
karakteristik peternak
Variabel
karakterisitk peternak yang digunakan untuk mendeteksi prevalensi Brucellosis di UPT Peternakan dan
Puskeswan Wilayah III (Kecamatan Situjuah Limo Nagari dan Kecamatan Akabiluru)
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Frekuensi
distribusi variabel karakteristik peternak
No.
|
Variabel
|
Keterangan
|
Hasil
|
1.
|
Jenis
kelamin
|
Perempuan
Laki-laki
|
14%
(14/100)
86%
(86/100)
|
2.
|
Usia
|
20-40
tahun
41-60
tahun
³ 61 tahun
|
24%
(24/100)
50%
(50/100)
26%
(26/100)
|
3.
|
Pekerjaan
|
Petani
Wiraswasta
Ibu rumah
tangga
Pensiunan
Lain-lain
|
59%
(59/100)
17%
(17/100)
3% (3/100)
20%
(20/100)
1% (1/100)
|
4.
|
Tipologi
|
Usaha
pokok
Cabang
usaha
Sambilan
|
24%
(24/100)
52%
(52/100)
24%
(24/100)
|
5.
|
Pendidikan
|
SD
SLTP
SLTA
Tidak
sekolah
|
18%
(18/100)
25%
(25/100)
56%
(56/100)
1% (1/100)
|
6.
|
Pengalaman
|
< 5
tahun
6 - 10
tahun
11 – 15
tahun
16 – 20
tahun
³ 21 tahun
|
22%
(22/100)
46%
(46/100)
8% (8/100)
11%
(11/100)
13%
(13/100)
|
7.
|
Jumlah
ternak
|
Rata-rata
(minimum-maksimum)
|
4 ekor
1 – 14
ekor
|
Hasil
survei terhadap variabel karakteristik peternak menunjukkan bahwa peternak yang
berjenis kelamin laki-laki adalah 86%, dan sebesar 14% peternak adalah
perempuan, dengan kisaran umur 20 - 40 tahun sebesar 24%, umur antara 41 – 60
tahun (50%) dan umur lebih sama dengan ³61 tahun sebanyak 26%. Sebagian besar
peternak bekerja sebagai petani (59%), 20% adalah pensiunan, sebanyak 17%
sebagai wiraswasta, ibu rumah tangga 3 % dan 1% mempunyai pekerjaan lainnya. Tipologi
atau tujuan beternak pada umumnya untuk cabang usaha (52%), dan masing-masing
24% untuk usaha pokok maupun usaha sambilan. Tingkat pendidikan peternak
sebagian besar adalah SLTA (56%), sebanyak 25% lulusan SLTP, lulusan SD 18% dan
hanya 1% yang tidak sekolah. Peternak yang mempunyai pengalaman beternak kurang
dari 5 tahun adalah 22%, sebanyak 46% mempunyai pengalaman beternak selama 6 –
10 tahun, selama 11 – 15 tahun sebesar 8%, 11% dengan pengalaman antara 16 -20
tahun dan yang mempunyai pengalaman lebih sama dengan 21 tahun sebanyak 13%,
sedangkan rata-rata kepemilikan ternak adalah sebanyak 4 ekor.
Analisis univariat terhadap variabel
manajemen peternakan
Hasil
survei distribusi variabel manajemen peternakan yang berpotensi menjadi faktor
risiko terjadinya Brucellosis pada
ternak sapi di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel
3. Frekuensi distribusi manajemen peternakan
No.
|
Variabel
|
Keterangan
|
Hasil
|
1.
|
Tipe peternakan
|
1 jenis
Mix (campur)
|
90% (90/100)
10% (10/100)
|
2.
|
Kandang koloni
|
Sendiri
Bersama
Tidak ada
|
49% (49/100)
44% (44/100)
7% (7/100)
|
3.
|
Sumber air
|
Sumur
PDAM
Sungai
|
78% (78/100)
17% (17/100)
5% (5/100)
|
4.
|
Penggunaan desinfekan
|
Rutin
Jarang
Tidak pernah
|
15% (15/100)
16% (16/100)
69% (69/100)
|
5.
|
Kondisi kandang
|
Bersih
Kotor
|
58% (58/100)
42% (42/100)
|
6.
|
Sistem pemeliharaan
|
Intensif
Semi intensif
|
75% (75/100)
25% (25/100)
|
7.
|
Padang rumput
|
Milik sendiri
Campur
Tidak ada
|
25% (25/100)
1% (1/100)
74% (74/100)
|
8.
|
Pengetahuan tentang Brucellosis
|
Tau
Tidak tau
|
18% (18/100)
82% (82/100)
|
9.
|
Penanganan limbah paska partus
|
Dikubur
Dibuang
Dibiarkan
|
70% (70/100)
22% (22/100%)
8% (8/100)
|
Hasil
survei terhadap variabel manajemen peternakan menunjukkan bahwa sebagian besar
tipe peternakan adalah memelihara satu jenis ternak (sapi) (90%) dan hanya 10%
dengan tipe pemeliharaan yang dicampur dengan ternak lain dalam satu lokasi
peternakan. Kandang koloni yang dimiliki pada umumnya adalah milik sendiri
(49%), sebanyak 44% kandang koloni secara bersama dan 7% peternak tidak
memiliki kandang koloni. Sumber air untuk keperluan peternakan adalah sumur
(78%), dari PDAM 17% dan sebanyak 5% berasal dari sungai. Kebanyakan peternakan
tidak pernah menggunakan desinfektan 69%, 16% jarang menggunakan desinfektan
dan hanya 15% peternakan yang selalu menggunakan desinfektan. Peternakan yang
bersih sebesar 58% dan 42% peternakan pada kondisi kotor. Sebagian besar
peternakan dipelihara secara intensif, dan sebanyak 25% peternakan menggunakan
cara pemeliharaan yang semi intensif (dikandangkan dan digembalakan secara
bergantian). Peternak yang memiliki padang rumput miik sendiri sebesar 25%, 1%
milik bersama dan sebanyak 74% peternakan tidak memiliki padang rumput untuk
menggembalakan ternaknya. Peternak pada umumnya tidak mengetahui tentang brucellosis (82%), dan hanya 18%
peternak yang mengetahui tentang Brucellosis.
Pada umumnya peternak mengukur limbah setelah sapi beranak misalnya plasenta
dan cairan amnion (70%), 22% dibuang dan 8% peternak membiarkan limbah
tersebut.
Analisis univariat terhadap variabel
ternak
Hasil
survei terhadap variabel ternak ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel
4. Frekuensi distribusi variabel ternak
No.
|
Variabel
|
Keterangan
|
Hasil
|
1.
|
Asal ternak
|
Induk sendiri
Beli
|
40% (40/100)
60% (60/100)
|
2.
|
Umur
|
Rata-rata
(min-maks)
|
3 tahun
(0.5 – 8 tahun)
|
3.
|
Sex (jenis kelamin)
|
Betina
Jantan
|
94% (94/100)
6% (6/100)
|
4.
|
Jumlah anak
|
Rata-rata
(min-maks)
|
1 ekor
(0 – 6 ekor)
|
5.
|
Bangsa (ras)
|
PO
Simental
Limosin
Lokal
Lainnya
|
2% (2/100)
89% (89/100)
6% (6/100)
1% (1/100)
2% (2/100)
|
6.
|
Bunting
|
Tidak
Ya
|
82% (82/100)
18% (18/100)
|
7.
|
Pernah keguguran
|
Tidak
Ya
|
97% (97/100)
3% (3/100)
|
8.
|
Cara kawin
|
IB
IB dan alam
Dara
Jantan
|
73% (73/100)
2% (2/100)
19% (19/100)
6% (6/100)
|
9.
|
Siklus estrus
|
Normal
Anestrus
IB > 3 kali
Dara
Jantan
|
39% (39/100)
27% (27/100)
8% (8/100)
20% (20/100)
6% (6/100)
|
Berdasarkan
hasil tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar ternak dibeli (60%), dan
40% ternak berasal dari indukan sendiri. Rata-rata umur ternak yang dipelihara
adalah 3 tahun, dengan jumlah anak rata-rata 1 ekor. Ternak yang dipelihara
adalah 2% ras PO, 89% simental, 6% limosin, 1% lokal dan 2% ras lainnya. Ternak
yang bunting sebanyak 18% dan yang tidak bunting 82%, sedangkan ternak yang
pernah mengalami keguguran adalah 3% dan yang tidak pernah mengalami keguguran
sebesar 97%.Kebanyakan ternak dikawinkan secara inseminasi buatan (IB), 2%
kawin secara alam dan IB, 19% ternak dara yang belum pernah kawin dan 6% adalah
sapi jantan. Berdasarkan siklus estrus sebagain besar sapi mempunyai siklus
estrus yang normal (39%), sapi dengan kondisi anestrus 27%, 20% sapi dara, 8%
mempunyai riwayat IB lebih dari tiga kali, dan 6% adalah sapi jantan.
Analisis bivariat karakteristik
peternak dan faktor risiko
Hasil analisis
karaktertik peternakdengan
majemen pemeliharaan yang
berpotensi sebagai faktor risiko
kejadian Brucellosis disajikan
pada Tabel 5.
Table 5.
Hasil analisis karakterisitk
peternak dengan manajemen peternakan yang berpotensi sebagai faktor risiko kejadian Brucellosis.
Karakteristik
|
Keterangan
|
Faktor risiko
|
Odds ratio
|
P
|
Jenis kelamin
|
Perempuan
|
Kondisi kandang yang kotor
|
9.9
|
0.0008
|
Umur
|
41-60 tahun
|
Kandang koloni bersama
|
3.8
|
0.0013
|
Umur
|
≥ 61 tahun
|
Tidak pernah desinfeksi
|
23.6
|
0.0000
|
Umur
|
41-60 tahun
|
Kondisi kandang kotor
|
7.1
|
0.0000
|
Umur
|
20-40 tahun
≥ 61 tahun
|
Sistem pemeliharaan semiintensif
|
2.9
4
|
0.0305
0.0038
|
Pendidikan
|
SD
|
Kondisi kandang kotor
|
17.2
|
0.0000
|
Pendidikan
|
SLTP
|
Kondisi kandang kotor
|
9.6
|
0.0000
|
Tipologi
|
Usaha sampingan
|
Kondisi kandang kotor
|
18.3
|
0.0000
|
Berdasarkan
hasil analisis tersebut ditemukan bahwa
karakterisitk peternak yang berasosiasi dengan manajemen peternakan sebagai
faktor risiko kejadian Brucellosis
adalah peternak yang berjenis kelamin perempuan berasosiasi secara signifikan mempunyai
kondisi kandang yang kotor (p=0.008; OR=9.9), peternak yang berusia 41-60 tahun
signifikan mempunyai kandang koloni bersama (p=0.0013; OR 3.8) dan kondisi
kandang kotor (p=0.0000; OR=7.1), peternak yang berusia ≥
61 tahun siginifikan
tidak pernah melakukan desinfeksi kandang (p=0.0000; OR=23.6) dan melaksanakan sistem
pemeliharaansecara semi intensif (p=0.0038; OR=4), peternak yang berusia 20-40
tahun siginifikan menerapkan sistem pemeliharaan secara semi intensif
(p=0.0305; OR=2.9), peternak dengan tingkat pendidikan SD dan SLTP secara
signifikan mempunyai kondisi kandang yang kotor (masing-masing p=0.0000; OR
17.2 dan p=0.0000; OR=19.6), dan peternak dengan tipologi usaha sampingan
signifikan mempunyai kandang yang kotor (p=0.0000; OR=18.3).
Pembahasan
Hasil
pemeriksaan RBT dari 100 sampel ternak sapi di UPT Peternakan dan Puskeswan
Wilayah III adalah negatif. Menurut Putra et
al. (1995), prevalensi antar wilayah berbeda-beda tergantung manajemen
pemeliharaan. Dengan demikian manajemen pemeliharaan dapat memengaruhi kejadian Brucellosis pada ternak sapi di suatu
wilayah.
Penelitian
ini menemukan bahwa peternak yang mempunyai jenis kelamin perempuan berasosiasi
secara signifikan dengan kebiasaan yang tidak pernah menggunakan desinfektan di
kandang dan tingkat kebersihan kandang. Peternak berjenis kelamin perempuan
berpotensi mempunyai kandang yang kotor sebesar 9,9 kali dibanding peternak
yang laki-laki. Asgedom H. (2016) dan Amaral (2016) menyatakan bahwa kandang
yang kotor dapat berisiko tinggi terjadinya transmisi atau penularan penyakit Brucellosis.
Kategori
umur peternak yang berasosiasi terhadap manajemen peternak yang berisiko tinggi
dengan kejadian Brucellosis adalah
umur 20-40 tahun berasosiasi secara signifikan dengan sistem pemeliharaan
secara semi intensif. Peternak berusia 20-40 tahun berpotensi 2.9 kali
melaksanakan sistem perkandangan secara semi intensif. Peternak berusia 41-60
tahun berasosiasi secara signifikan mempunyai kandang koloni bersama dengan
potensi 3,8 kali dan memiliki kandang dengan kondisi yang kotor dengan potensi
7,1 kali. Sedangkan peternak berusia ³ 61 tahun berpotensi 23.6 kali tidak
pernah melakukan desinfeksi pada kandangnya. Menurut Al-Majali et al. (2009), desinfeksi kandang
berasosiasi terhadap kejadian Brucellosis.
Sistem pemeliharaan secara semi intensif dan dilepaskan atau tidak dikandangkan
berisiko tinggi terhadap kejadian Brucellosis
karena kemungkinan terjadinya transmisi penyakit pada saat digembalakan (Makita
K. et al. 2011). Penggunaan kandang
koloni secara bersama akan menyebabkan kontrol pergerakan ternak sulit
dilakukan karena dalam satu kandang terdiri dari beberapa pemilik ternak.
Kondisi tersebut berisiko tinggi terhadap kejadian Brucellosis (Mohammed F.U. et al. 2011).
Tingkat
pendidikan peternak setingkat SD dan SLTP berasosiasi secara signifikan dengan
kondisi kandang yang kotor. Peternak dengan tingkat pendidikan SD dan SLTP
masing-masing berpotensi 17,2 kali dan 9,6 kali memilki kandang dengan kondisi
yang kotor. Tingkat pendidikan akan memengaruhi pola pikir seseorang dalam
menerima informasi. Kemahiran menyerap pengetahuan akan meningkat sesuai dengan
meningkatnya pendidikan seseorang dan kemampuan ini berhubungan erat dengan
sikap seseorang terhadap pengetahuan yang diserapnya (Kartikasari et al., 2012 dalam Oktarianti E.
2014). Tingkat pendidikan yang tinggi
akan mencerminkan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
Peternak yang berpendidikan lebih rendah pada umumnya sulit menerima berbagai
informasi yang berhubungan dengan peternakan. Peternak tersebut lebih sering
menerima informasi dari orang tua atau kerabat mereka (Prihatno, 2013).
Peternak dengan tipologi atau tujuan
beternak untuk usaha sampingan berasosiasi secara signifikan dengan kondisi
kandang yang kotor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak dengan tujuan
beternak untuk usaha sampingan berpotensi 18.3 kali memiliki kandang dengan
kondisi yang kotor daripada peternak dengan tujuan usaha pokok maupun sebagai
cabang usaha. Peternak dengan tipologi cabang usaha, menjadikan usaha
peternakan sebagai usaha tambahan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi
tersebut akan memengaruhi peternak dalam manajemen peternakan, dan motivasi
untuk beternak tidak akan setinggi peternak dengan tipologi usaha pokok
(Oktarianti E. 2014).
Penelitian
ini menunjukkan bahwa karateristik peternak berupa jenis kelamin, umur, tingkat
pendidikan dan tipologi berasosiasi secara signifikan dengan manajemen
peternakan yang berisiko tinggi terhadap kejadian Brucellosis.
Kesimpulan
Berdasarkan
penelitian ini, ternak sapi di UPT Peternakan dan Puskeswan Wilayah III Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota tidak terinfeksi oleh
bakteri Brucella abortus karena semua
ternak sapi yang dijadikan sampel menunjukkan hasil pemeriksaan secara Rose Bengal Test (RBT) negatif. Sebagian
besar peternak masih menerapkan manajemen peternakan dengan kondisi kandang
yang kotor, tidak pernah melakukan desinfeksi, kandang koloni secara
bersama-sama dan sistem pemeliharaan secara semi intensif yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya kejadian Brucellosis
pada sapi.
Saran
Kajian
Brucellosis pada sapi dapat
dilanjutkan dengan kajian serologis Brucellosis
pada manusia yang berpotensi terpapar oleh bakteri Brucella sp. diantaranya peternak, petugas kesehatan hewan dan
petugas di rumah potong hewan ataupun masyarakat yang mengkonsumsi susu dan
produk olahan susu sapi, kambing dan domba yang tidak dipasteurisasi.Penelitian
lanjutan tersebut diharapkan dapat mengidentifikasi hubungan antara
karakteristik atau prilaku seseorang terhadap faktor risiko yang memengaruhi
kejadian Brucellosis pada manusia.
Daftar Pustaka
Al-Majali,
A.M., Talafha, A.Q., and Ababneh, M.M.c2009. Seroprevalence Risk Factors for Bovine Bucellosis in Jordan. J Vet Science. Vol 10 (1): 60-65.
Alsubaie,
S., Maha, A., Mohammed, A., Hanan, B., Essam, A., Sulaiman, A., Badria, A., and
Ziad, A.M. 20005. Acute Brucellosis in Saudi famillies: Relationship between
Brucella Serology and Clinical Symptons. Int.
Journal Infec Dis. 9: 218-224.
Amaral.
2016. Seroprevalensi dan Faktor Risiko Brucellosis pada Sapi di Distrik
Bobonaro Timor Leste. Tesis.
Universitas Udayana. Bali.
Arut, A.F., Maghfiroh, K., Saputra, D.,
Ariyanti, T., Octaviani, R., Rahma, N., Afrilis. 2010. Booklet Beberapa Penyakit
Zoonosa: Brucellosis. FKH. IPB.
Asgedom, H.,
Damena D., and Duguma R. 2016. Seroprevalence of Bovine Brucellosis and
Associated Risk Factors in and Around Alage District, Ethiopia. SringerPlus. Vol 5:851.
Chin, J.
2007. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Ed ke-17. I Nyoman Kandun:
penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari Control of Communicable Disease Manual.
Crawford,
R.P., Huber, J.D., Adams, B.S. 1990. Epidemiology
and Surveillance. In: Animal Brucellosis. Nielsen KH and JR Duncan (Eds).
Boca Raton (FL): CRC Press. Pp. 131-151.
Disnakeswan
Kabupaten Lima Puluh Kota. 2015. Data Statistik Ternak Tahun 2015. Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lima Puluh Kota.
Gul dan
Khan. 2007. Epidemiology and Epizootology of Brucellosis: a Review. Pakistan Vet J. Vol 27(3): 145-151.
Lake, P.R.,
Kusumawati, A., dan Budiharta. S. 2010. Faktor Risiko Bovine Brucellosis pada Tingkat
Peternakan di Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara Timur. J.Sain Vet. Vol 28 No.1
Lemeshow,
S., Hosmer, D.W., Klar, J., and Lwanga, S.K. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Makita, K.,Fevre,
E.M., Waisma, C., Eisler, M.C., Thrusfield, M., and Welburn S.C. 2011. Herd Prevalence
of Bovine Brucellosis and Analysis of Risk Factor in Cattle in Urban and Peri-Urban
Areas of the Kampala Economic Zone, Uganda. BMC
Veterinary Research 2011, 7:60.
Mohammed,
F.U., Ibrahim S., Ajogi I., and Olaniyi, B.J.O. 2011. Prevalence of Bovine
Brucellsis and Risk Factors Assessment in Cattle Herds in Jigawa State. ISRN Veterinary Science. Vol 2011, Article
ID 132897.
Noor, S.M.
2006. Brucellosis : Penyakit Zoonosis yang Belum Banyak dikenal di Indonesia. Wartazoa 16 : 31-39.
Novita, R.
2013. Perencanaan Surveilans Brucellosis
pada Manusia di Jawa Barat dengan menggunakan metode Geographical Information System (GIS). Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. Vol 3 (1) (1-10).
Oktarianti,
E. 2014. Kajian Lintas Seksional dan Profil Biokimia Darah Kejadian Anestrus
Pada Sapi Potong di Kabupaten Grobogan. Tesis
UGM Yogyakarta.
Prihatno,
S.A. 2013. Kajian Epidemiologi Kawin Berulang pada Sapi Perah di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Disertasi. UGM.
Putra,
A.A.G. 1998. Program Kajian Epidemiologi dan Dampak Ekonomi Brucellosis
Terhadap Pendapatan Petani, Daerah dan Nasional. Makalah pada Workshop Brucellosis di Kupang, NTT.
Putra,
A.A.G., I.G.M. Ekaputra, A.A.G. Semara Putra dan N.L. Dartini. 1995. Prevalensi
dan Distribusi Reaktor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggara pada tahun 1994 –
1995. Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.
Syah, S.P.,
Saswiyanti, E., dan Nurhayati, I.S. 2011. Brucellosis di Indonesia. Makalah Kesehatan Mashyarakat Veteriner.
IPB. Bogor.